Dekrit Presiden 5 Juli 1959 merupakan keputusan penting yang dikeluarkan oleh Presiden Sukarno untuk merespon kegagalan Dewan Konstituante dalam merumuskan Undang-Undang Dasar (UUD) yang baru. Dekrit ini tidak hanya membubarkan Konstituante, tetapi juga mengakhiri era Demokrasi Liberal dan memulai era Demokrasi Terpimpin di Indonesia.
Setelah pemilihan umum tahun 1955, Indonesia mengalami periode politik yang tidak stabil. Konstituante, yang beranggotakan 544 orang terpilih, gagal mencapai kesepakatan dalam merumuskan UUD baru. Perdebatan panjang terjadi antara kalangan nasionalis yang mendukung Pancasila sebagai dasar negara dan kalangan Islam yang mengusulkan Islam sebagai dasar negara. Kebuntuan ini berlangsung hingga tahun 1959.
Pada 22 April 1959, Sukarno menyampaikan amanat di depan Konstituante, menyerukan agar Indonesia kembali menggunakan UUD 1945. Usulannya didukung oleh Partai Nasional Indonesia (PNI) dan Partai Komunis Indonesia (PKI), namun ditolak oleh Partai Masyumi. Upaya voting yang dilakukan pada 30 Mei 1959, 1 hingga 22 Juni 1959, tetap tidak membuahkan hasil karena tidak memenuhi kuorum.
Dekrit Presiden akhirnya dikeluarkan pada 5 Juli 1959. Keputusan ini didukung oleh Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) dan membawa sejumlah perubahan besar: pembubaran Konstituante, pemberlakuan kembali UUD 1945, dan pembentukan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) dan Dewan Pertimbangan Agung Sementara (DPAS). Dengan demikian, Dekrit Presiden ini menandai berakhirnya era Demokrasi Liberal dan dimulainya era Demokrasi Terpimpin, di mana Presiden Sukarno memegang kendali penuh atas pemerintahan.
Walaupun Dekrit Presiden 5 Juli 1959 mendapat kritik dari para pendukung demokrasi karena dianggap merusak asas demokrasi konstitusional dan prinsip pemisahan kekuasaan, dekrit ini tetap membawa perubahan mendasar dalam sistem politik Indonesia. Sistem pemerintahan berubah dari parlementer menjadi presidensial, UUD 1950 digantikan oleh UUD 1945, dan DPR hasil Pemilu 1955 digantikan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR GR).
Dekrit ini memperkuat posisi Sukarno, yang ditopang oleh militer, dan mengokohkan kontrolnya atas politik Indonesia. Namun, dalam perjalanannya, stabilitas negara terganggu dan ekonomi memburuk. Perdebatan mengenai Piagam Jakarta dan tujuh kata dalam pembukaan UUD 1945 tetap eksis hingga era reformasi, menunjukkan betapa kompleksnya dinamika politik dan hukum di Indonesia.
Dekrit Presiden 5 Juli 1959 adalah salah satu momen krusial dalam sejarah Indonesia yang membentuk arah politik bangsa dan menegaskan peran penting Presiden Sukarno dalam perjalanan negara.
Penulis: Lydia
Editor: Nazna