Bagian awal: Ketika Rezeki Datang Tanpa Terduga
Di bawah trotoar kotor, tempat kami terasing, hidup berjalan tanpa kepastian. Kami mungkin seperti seonggok lintah yang tak pernah benar-benar dianggap ada, terpinggir juga terkucilkan. Di kota metropolitan yang gemerlap ini, deru kendaraan lebih nyaring dari suara tangisan, dan cahaya lampu dari gedung-gedung tinggi lebih terang dari kepedulian.
Trotoar menjadi tempat beristirahat, jembatan layang menjadi atap, dan dinginnya malam sering kali menjadi selimut paling akrab. Orang-orang berlalu dengan wajah terburu-buru, tenggelam dalam kesibukan, seolah dunia kami hanyalah bayang-bayang yang tak layak dipedulikan. Ketidakadilan adalah bagian dari hidup kami. Pedagang kaki lima diusir tanpa alasan, anak-anak kecil terjaga hingga larut demi membantu orang tua mereka, sementara para pekerja pulang dengan langkah gontai setelah seharian mencari nafkah. Kami adalah mereka yang tak dianggap, yang kerap dipandang sebelah mata.
Aku berdiri di perempatan jalan, cat silver yang melapisi kulitku mulai mengering, gatal, dan terasa panas. Di antara mereka, aku hanyalah seorang bocah sepuluh tahun yang melumuri tubuh dengan cat, demi beberapa lembar uang receh. Aku adalah manusia silver, patung hidup di pinggir jalan, diam membisu saat lampu merah menyala, berharap ada tangan-tangan dermawan yang melemparkan sedikit rezeki ke dalam kaleng kecil di tanganku. Beberapa orang melirikku dengan tatapan iba, sementara yang lain memilih mengabaikanku, seolah aku tak lebih dari bagian jalanan yang kotor.
Namaku Rama. Sejak ibuku meninggal tiga bulan lalu, aku tidak punya siapa-siapa lagi di dunia ini. Rumah kontrakan kami sudah diambil pemiliknya, dan aku terpaksa tidur di emperan toko atau kolong jembatan. Kadang aku lapar, lelah, tetapi aku tidak punya pilihan. Ramadan kali ini terasa begitu berat dan menyiksa.
Ketika azan Maghrib berkumandang, aku menepi ke trotoar. Di tanganku hanya ada setengah botol air mineral bekas yang kudapat dari seorang pejalan kaki tadi siang. Tak ada kurma, tak ada nasi, hanya air putih untuk membatalkan puasaku. Aku meneguknya perlahan, menahan perih di perutku yang sudah kosong sejak dua hari lalu. Bahkan aku tidak sahur, hanya bertahan dengan air bekas orang-orang minum.
Tiba-tiba, seorang lelaki tua mendekat. Ia membawa gerobak kecil berisi nasi bungkus. Wajahnya penuh kerutan, tetapi matanya teduh dan bersahabat.
“Nak, sudah berbuka?” tanyanya lembut.
Aku menunduk. “Sudah, Pak…” jawabku pelan, meskipun kenyataannya aku hanya minum air.
Lelaki itu tersenyum dan menyodorkan sebungkus nasi. “Makanlah. Ini untukmu.”
Aku terkejut. “Tapi saya nggak punya uang, Pak.”
Ia menggeleng pelan. “Nak, Rasulullah SAW bersabda, ‘Tidaklah berkurang harta karena sedekah, dan Allah tidak menambah bagi seorang hamba yang memberi maaf, kecuali kemuliaan.’ (HR. Muslim). Makanlah, Nak. Tak perlu membayar apa pun.”
Tanganku gemetar saat menerima nasi itu. Aku menatapnya dengan mata berkaca-kaca. “Terima kasih, Pak…” kataku lirih.
Malam itu, untuk pertama kalinya aku bisa makan untuk mengisi perut kosongku yang dua hari ini belum kuisi. Setiap suapan nasi yang masuk ke mulutku terasa seperti keberkahan. Sejenak, aku lupa tentang kesepian, tentang dinginnya trotoar, dan tentang bagaimana aku menghadapi hari esok. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, aku merasa dipedulikan.
Bersambung………….
Penulis: Frida
Editor: Lydia