Memahami Lebih Dalam Makna Sila Keempat dalam Pancasila

0
15 views

Tiap butir Pancasila memiliki nilai-nilai luhur serta mempunyai peran penting di dalamnya. Salah satu sila yang memiliki peranan penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara adalah sila keempat: “Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan.”

Menilik kembali pada jejak sejarahnya, Pancasila pertama kali dikemukakan oleh Presiden Soekarno dalam pidatonya pada tanggal 1 Juni 1945, dalam sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Dalam pidato tersebut, Soekarno menegaskan bahwa Indonesia harus menjadi negara “semua untuk semua” bukan negara untuk satu golongan, dan bukan pula negara untuk satu orang.

Ia menekankan pentingnya prinsip kerakyatan, yaitu bahwa keputusan-keputusan harus diambil melalui permusyawaratan yang adil dan bijaksana. Menurut Soekarno, segala pandangan termasuk pandangan keagamaan harus dimusyawarahkan secara terbuka guna mencapai kesepakatan bersama atau mufakat.

Tahukah kalian, bahwa makna demokrasi yang dimaksud dalam sila keempat bukanlah demokrasi liberal ala Barat yang hanya mengandalkan suara terbanyak atau voting semata. Demokrasi Indonesia adalah demokrasi yang menjunjung tinggi nilai musyawarah dan mufakat, dengan mengedepankan hikmat kebijaksanaan.

Dalam jurnal berjudul “Pancasila dalam Lintasan Sejarah” yang ditulis oleh Putri dan kawan-kawan, menuliskan bahwa sila keempat menekankan prinsip kerakyatan yang dijalankan melalui mekanisme permusyawaratan dan perwakilan. Sila ini mencerminkan sistem demokrasi yang memberi ruang bagi perubahan seiring perkembangan masyarakat dan partisipasi publik dalam proses pengambilan keputusan.

Inilah yang membedakan sistem demokrasi kita. Pengambilan keputusan idealnya tidak hanya didasarkan pada mayoritas suara, tetapi juga mempertimbangkan kepentingan bersama, mendengar suara minoritas, dan menjunjung tinggi nilai keadilan sosial.

Namun, meski sila keempat telah menjadi fondasi demokrasi Indonesia, tantangan dalam implementasinya masih nyata. Praktik politik transaksional, rendahnya budaya berdiskusi, serta dominasi kelompok tertentu kerap menggerus semangat musyawarah yang sejati.

Oleh karena itu, dibutuhkan komitmen bersama baik dari pemerintah, masyarakat, maupun generasi muda untuk terus memperkuat budaya permusyawaratan. Setiap keputusan yang menyangkut kepentingan bersama harus diambil dengan kepala dingin, penuh kebijaksanaan, dan terbuka terhadap beragam pandangan.

SiGMAnia, sila keempat mengajarkan kita untuk tidak gegabah dalam mengambil keputusan. Kita diajak untuk mendengar, memahami, dan mencari kesepakatan demi terciptanya keadilan dan persatuan. Maka dari itu, mari kita jadikan nilai-nilai Pancasila terutama semangat musyawarah dan kebijaksanaan sebagai pedoman dalam kehidupan sehari-hari, baik di lingkungan sekolah, pekerjaan, keluarga, maupun masyarakat.

Penulis: Ayunda
Editor: Lydia