Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) sejak awal dibentuk membawa mandat mulia, menjadi garda terdepan dalam perlindungan, pemajuan, dan penegakan HAM di Indonesia. Namun dalam praktiknya, lembaga ini kerap dinilai tidak efektif dan gagal menjalankan perannya secara komprehensif. Kritik terbesar yang kerap disampaikan publik adalah ketidakmampuan Komnas HAM menindaklanjuti kasus-kasus pelanggaran HAM berat secara nyata. Laporan maupun hasil penyelidikan yang disusun dengan susah payah sering kali berakhir di meja arsip tanpa tindak lanjut yang berarti dalam ranah hukum.
Catatan akhir tahun Komnas HAM 2024 menyebutkan sedikitnya 13 kasus pelanggaran HAM berat masih belum terselesaikan. Beberapa di antaranya adalah tragedi 1965, pembunuhan aktivis HAM Munir Said Thalib tahun 2004, hingga kematian misterius Akseyna, mahasiswa Universitas Indonesia pada tahun 2015. Fakta ini menjadi bukti gamblang bahwa negara masih gagal memberikan kepastian hukum sekaligus keadilan bagi para korban dan keluarganya.
Padahal, secara normatif kedudukan Komnas HAM telah ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. UU tersebut menyebutkan bahwa Komnas HAM adalah lembaga mandiri yang setara dengan lembaga negara lain, dengan fungsi utama pengkajian, penelitian, penyuluhan, pemantauan, dan mediasi HAM. Namun independensi ini kerap dipertanyakan. Secara formal memang mandiri, tetapi dalam kenyataan, penanganan kasus-kasus besar acap kali terhambat oleh tekanan politik dan kepentingan pihak tertentu. Kondisi ini menimbulkan keraguan publik, apakah Komnas HAM benar-benar berpihak pada korban atau justru tunduk pada kekuasaan?
Dalam laporan tahunan lembaga tersebut, salah satu kendala terbesar dalam penyelesaian kasus HAM berat adalah minimnya kerja sama dari institusi penegak hukum, khususnya Kejaksaan Agung dan aparat keamanan. Tidak jarang, berkas hasil penyelidikan yang diajukan Komnas HAM dikembalikan dengan alasan kurang bukti. Hal ini mencerminkan lemahnya koordinasi antar lembaga, sekaligus memperlihatkan posisi Komnas HAM yang terisolasi dalam sistem penegakan hukum nasional.
Tanpa adanya revisi terhadap Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM untuk memperkuat kewenangan Komnas HAM, atau pembentukan mekanisme hukum baru yang lebih efektif dan independen, harapan bagi korban pelanggaran HAM hanya akan menjadi utopia. Penyelesaian kasus HAM berat sejatinya bukan sekadar menghukum pelaku, melainkan juga wujud pengakuan negara terhadap penderitaan korban, pemulihan martabat mereka, serta jaminan agar tragedi serupa tidak kembali terulang.
Penulis: Diroya
Editor: Lydia