Indonesia, dengan janji konstitusional untuk mengalokasikan 20% APBN bagi pendidikan, masih menyimpan ironi. Pemerintah memang membanggakan anggaran pendidikan terbesar dalam sejarah, yaitu Rp757,8 triliun pada RAPBN 2026. Namun, komitmen ini diuji oleh kenyataan bahwa masih banyak anak bangsa kesulitan mengakses pendidikan layak, sementara nasib sebagian guru, khususnya non-ASN, masih bergulat dengan ketidakpastian kesejahteraan. Potret kesenjangan ini terus menjadi tantangan serius, terutama dalam ekosistem pendidikan madrasah.
Tantangan di madrasah semakin menegaskan ironi tersebut. Sebagai tulang punggung pendidikan karakter dan agama, banyak madrasah, khususnya swasta, masih berjuang dengan keterbatasan fasilitas dan sumber daya. Untuk merespons kondisi ini, Kementerian Agama (Kemenag) melalui Ditjen Pendis mengalokasikan Rp21,9 triliun pada 2025 bagi Madrasah dan Pendidikan Agama Islam, naik dari Rp17,9 triliun tahun sebelumnya. Dana ini ditargetkan menjangkau lebih dari 81.000 madrasah dan 13.000 lembaga Pendidikan Al-Qur’an, termasuk memperbaiki puluhan ribu ruang kelas yang rusak. Langkah ini menjadi upaya konkret untuk mengurangi kesenjangan antara sekolah umum di bawah Kemendikbudristek dan madrasah di bawah Kemenag.
Secara nasional, pemerintah melalui Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) mencatat capaian program prioritas pada 2025 dengan anggaran Rp181,72 triliun. Program tersebut mencakup revitalisasi 15.523 satuan pendidikan serta peningkatan kesejahteraan guru. Meski demikian, pemerataan masih menghadapi kendala besar. Di Papua, misalnya, lebih dari 620.000 anak usia SD hingga SMA/SMK tidak bersekolah, salah satu penyebabnya adalah kekurangan lebih dari 20.000 guru. Masalah struktural ini menunjukkan bahwa anggaran besar tidak cukup tanpa eksekusi dan prioritas yang tepat sasaran.
Kesenjangan paling nyata terlihat pada nasib guru honorer dan non-ASN. Mereka tetap menjadi penopang penting pendidikan meski jauh dari kata sejahtera. Presiden Prabowo telah mengumumkan kenaikan tunjangan profesi bagi guru non-ASN bersertifikat menjadi Rp2 juta per bulan mulai 2025. Namun, kenyataan di lapangan masih timpang. Kisah Jawinah, guru madrasah honorer di Kabupaten Serang, menggambarkan kondisi ini. Ia hanya menerima sekitar Rp500.000 setiap tiga bulan dari dana hibah provinsi. Kritik juga datang dari Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) yang menilai anggaran pendidikan 2026 belum menyelesaikan masalah mendasar, seperti kesejahteraan guru non-ASN dan peningkatan kompetensi siswa. Sorotan tajam turut diarahkan pada Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang sempat menyerap hampir setengah anggaran fungsi pendidikan sebelum dikoreksi. Sebagian praktisi menilainya sebagai misorientasi, karena dana besar tersebut seharusnya dialihkan untuk mengatasi masalah kesejahteraan guru.
Masalah ini bukan hanya isu nasional, tetapi juga mencerminkan tantangan akut pemerataan. Pemerintah berupaya menjawabnya dengan sejumlah terobosan, seperti pembangunan Sekolah Garuda di sembilan wilayah 3T (Terdepan, Terluar, Tertinggal) sebagai pengungkit pemerataan kualitas pendidikan. Di sisi lain, pendekatan pendidikan agama dan karakter juga terus diperkuat. Menteri Agama Nasaruddin Umar, saat meresmikan Institut Islam Internasional Basma di Riau, menegaskan pentingnya pendidikan yang memadukan akal dan hati sebagai basis pembentukan karakter. Langkah-langkah ini menunjukkan bahwa solusi pendidikan perlu dilakukan secara multidimensi, baik melalui penguatan teknis operasional maupun pendekatan nilai.
Kondisi krisis ini sangat nyata di tingkat lokal, seperti di Provinsi Banten yang dikenal sebagai “Kota Santri.” Laporan Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) menyoroti masih banyaknya madrasah di Kabupaten Serang dan Pandeglang yang berada dalam kondisi memprihatinkan. Bangunan lapuk, atap bocor, serta minimnya fasilitas seperti perpustakaan dan laboratorium menjadi pemandangan sehari-hari. Situasi ini memperparah keterbatasan sumber daya manusia dan berpotensi menghambat peningkatan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) daerah. Data BPS Provinsi Banten 2023 mencatat rata-rata lama sekolah penduduk usia 25 tahun ke atas baru 9,02 tahun, yang berarti belum mencapai jenjang SMA/sederajat. Hal ini menegaskan bahwa masalah akses dan kualitas pendidikan di madrasah berkontribusi langsung terhadap rendahnya capaian pembangunan daerah.
Pada akhirnya, persoalan pendidikan Indonesia bukan hanya soal besarnya angka anggaran, melainkan bagaimana memastikan setiap rupiah dialokasikan secara tepat sasaran dan adil. Pertanyaan kritis yang harus terus diajukan adalah: sejauh mana anggaran ratusan triliun rupiah itu benar-benar memperbaiki kondisi sekolah, meningkatkan kualitas guru, dan memperluas akses bagi anak-anak yang tertinggal? Sinergi antara pemerintah pusat dan daerah, ditopang pengawasan publik yang kuat, menjadi kunci agar janji konstitusi tidak berhenti pada laporan administratif semata. Tanpa komitmen politik yang tegas dan implementasi efektif, kesenjangan pendidikan akan terus menjadi catatan kelam dalam perjalanan bangsa.
Penulis: Delis
Editor: Enjat