Bagian 2 : Kebaikan Datanglah! Kejahatan Tahanlah! Pintu Keberkahan di Bulan Penuh Ampunan
“Assalaamualaikum warahmatullah…” Kalam Tuhan diucapkan ketika sang instruksi shalat menengokkan kepala ke arah kanan. Tarawihpun telah usai, Rona yang duduk di shaf ketiga di mushola kian mengedarkan pandangan. Tak henti-henti mencari seakan ada satu hal yang hilang dan harus ia temui.
Entah apa yang dia cari, mungkin saja gadis penunggu rumah petak miliknya. Yah, sepanjang dia berada di tempat ini, harapnya terus sama, mengagungkan harapan akan datangnya gadis usia 20 tahun itu.
Namun…
“Tante, yuk pulang!” tiba-tiba saja seorang perempuan berucap sembari menepuk bahu Rona dari arah belakang tubuhnya.
Rona pun membalikkan kepala 180 derajat melihat ke arah perempuan tersebut, “astagaaa” dengan segala keterkejutannya.
“Tante kira gak sholat” sambungnya dengan nada cemas.
“Tadinya sih begitu”, ucap perempuan itu dengan tengil, “akan tetapi, ketika Isya mengaung ada perempuan menjelma jadi mamah dedeh dan berceramah di depan kontrakan”, imbuhnya dengan nada berbisik.
Hampir saja Rona melayangkan pukulan pada kepala perempuan yang tertutup mukena. Namun ketika mendarat pada ubun-ubun Nasya, dia justru mengelusnya dengan lembut. Ya, dia Nasya perempuan yang sedari tadi Rona cari-cari. Nasya pun dengan lantas memberikan cengir kuda kepada Rona. Ia dengan sigap membantu Rona yang sedang melipat sajadahnya.
“Di bagian mana?” dan Rona nampaknya masih penasaran, mungkin pikirnya kala itu memutar kata “kok bisa muncul tiba-tiba”
“Deket pintu, Tante. Masa gak liat” jawab Nasya, dibalas rangkulan oleh Rona seakan meng-iyakan ajakannya untuk pulang bersama.
Mereka pun akhirnya pulang dari mushola, berjalan senada saling memegang tangan seakan hendak menyebrang jalan, “besok shalat lagi!” ucap Rona dengan nada seolah itu adalah perintah, “kali ini harus berangkat bersama”.
Mendengar ucapan Rona tersebut, membuat Nasya memainkan bola matanya. Sikap Rona mengingatkannya akan Ibu di kampung halaman, “Rindu Rumah” batinnya.
Esoknya, tepat pada pukul 04.00 WIB. Alarm kian bergetar di samping telinga Nasya. Sudah tiga puluh menit berdering, namun tak mampu membangunkan Nasya. Hingga Nasya terberanjak dengan raut penuh ketakutan, mungkin terbangun karena mimpi buruk.
“Astagfirullahaladzim” sepertinya memang mimpi buruk. Nasya lupa tidak baca doa ketika tidur, lupa yang seakan menjadi biasa. Ia segera mengambil ponsel yang terus bersuara di sampingnya, langsung mematikan alarm dan sedikit melihat pada aplikasi whats app. Tak ada pesan, dan itu sedikit membuatnya kecewa.
Tok! Tok! Tok!
Pintu terus berdentum, entah dari siapa. Subuh-subuh gini sudah bertamu. Nasya membukakan pintu, yang jaraknya satu meter dari tempat tidurnya.
“Nasyaaa, astagfirullahaladzim” lagi dan lagi, Rona seakan menggantikan sosok ibu di hidup Nasya. Ia beristigfar atas Nasya dengan rambutnya yang sudah tidak karuan, terlihat sekali baru bangun tidurnya.
“Kamu nih puasa gak sih? Masa belum ada apa-apa. Untung tante kesini, Saur dulu!” Titah Rona dengan suaranya yang nyaring, bak ember pecah.
“Tante..” Nasya justru menampakkan wajahnya yang sayu, redup. “Nasya ngerepotin tante yah?”
Rona menghentikan pergerakan lengannya yang sedang membongkar sebuah rantang, “Nggak lah.”
“Nasya jadi gak enak samaTante,” ucap Nasya.
“Tidak apa-apa, Nasya. Tante lagi banyak rejeki, anggap juga ini sebuah rejeki buat kamu,” Rona mencoba untuk menenangkan Nasya. Ia tahu, bahwa Nasya sedang merindu sekaligus kecewa. “Tante pulang dulu, yah”
Mendengar perkataan Rona, seolah menenangkan tapi juga membuat Nasya sedikit bernafas dengan berat ketika melihat makanan yang dibawakan Rona. “Ini sih emang banyak, sekaligus kelebihan rejeki buat saya” gerutunya ketika Rona telah pergi dari tempat dimana ia berdiri saat ini.
Kala siang, terik matahari menyorot hingga ruang yang dipenuhi akan tumpukan kertas dan Nasya terduduk di atas kursi berputar dengan meraut seluruh rambutnya.
“Sya!” sahut seorang perempuan yang duduk di sebelah meja Nasya.
“Ck.. apa?” balas Nasya dengan malas.
“Berat banget beban hidupnya?” namanya Rintika, dari papan nama di atas meja kerjanya.
“Berat! Sungguh berat. Kenapa?” Nasya memang sedang kalut, sedari subuh moodnya hancur berantakan, dan itu sedikit membuatnya tidak fokus dalam bekerja. Sejak pagi tadi, teman-teman Nasya telah menghasilkan buih-buih kertas yang disusun rapih dan dibawa kesana-kemari. Sedangkan Nasya? Ia hanya terduduk di tempatnya.
“Gapapa. Cuma mastiin doang kalau kamu gak kerasukan” mendengar Rintika bicara seperti itu, Nasya dengan lantas membulatkan matanya dan itu membuat Rintika sedikit tertawa.
“Tau gak sih, Sya?” Rempongnya Rintika meraup lengan kecil milik Nasya. “kata Rasulullah, puasa itu setengah sabar. Kamu tau?, salah satu ciri orang yang sabar itu giat bekerja” dengan raut wajah yang meyakinkan.
Nasya tersenyum mendengarnya, senyum terpaksa. Ia membuka laci, mengeluarkan semua yang ia perlukan. Bukan! Ini bukan soal perkataan Rintika yang membangkitkan jiwa semangat pada diri Nasya. Melainkan memang sedari tadi Nasya sedang menunggu roh duniawi untuk merasuki dan membuatnya melakukan sebuah pekerjaan.
“Sya, sore nanti buka di mana?” tanya Rintika, seolah mencoba untuk membuyarkan konsentrasi Nasya.
“Gak tau” dan jawaban singkat itu muncul, ketika roh duniawi telah menguasai seluruh tubuh Nasya.
Jika sudah merasuki, kegiatan apapun yang ada disekeliling Nasya, tidak akan mengalihkan fokusnya. Sampai berlarut-larut. Sekalipun angin berubah menjadi debu. Sampai langit biru merubah warnanya menjadi jingga.
Nasya menggebrak meja. Ternyata sudah pukul 16.30 WIB. Ia menengok ke arah kanan dan kiri. Sebagian manusia telah pergi, dan sebagian lainnya sibuk menyiapi.
“Sya, jangan beli bukaan yah. Ibu aku nganterin makanan banyak banget ke kantor. Udah tau aku makannya sedikit,” lirih Rintika.
“Bersyukur masih ada yang anterin. Setidaknya kamu masih diingat, Ramadhan jadi berarti kan buat kamu?” ucap Nasya dengan nada ketus, sembari melihat-lihat makanan yang dibawakan Ibu dari Rintika.
“Sya, kalau kamu rindu ya telepon!” ujar Rintika.
Nasya menggeleng, gengsi telah menguasai diri.
“Aku pernah baca, Sya. Satu hadits Tirmidzi yang berbunyi : pada awal bulan Ramadhan itu setan-setan dan jin dibelenggu, pintu neraka ditutup, pintu surga dibuka, siapapun orang yang menginginkan kebaikan datanglah, dan menginginkan kejahatan tahanlah pada bulan Ramadhan, setiap malam Allah SWT memiliki orang-orang yang dibebaskan dari neraka,” tiada maksud lain, Rintika hanya ingin mengingatkan “tahan dulu apa yang membuatmu kecewa kemudian menimbulkan amarah atau bahkan dendam. Siapa tau mereka juga menanti pesan darimu. Mengapa tidak kita saja yang mengalah, biarkan kebaikan menguasai hatimu!” perkataan Rintika begitu bijak di dengar, dan ada benarnya.
Melihat jam sebentar lagi menunjukkan waktu berbuka, Nasya meraih ponselnya. Hatinya bergetar saat Rintika berucap dengan kata yang paling sejuk didengar. Ia pun mempertimbangkan akan hal yang diucapkan temannya, dengan menekan sebuah nama kontak yang ada di ponselnya. Ada suatu niat yang memutar di kepalanya “selamat berbuka, Mah”
Bersambung…
Penulis: Lydia
Editor: Dhuyuf