Bunga-bunga Ramadhan

0
36 views

Bagian 3 : Renungan Doa di Bulan Ramadhan

Ada suatu niat yang memutar di kepalanya

“Selamat berbuka, Mah”

Niat itu ia urungkan, kala adzan maghrib berkumandang dan Rintika berhasil meraih lengannya untuk menyegerakan dalam berbuka. Nasya meletakkan ponselnya begitu saja di atas meja. Kemudian pergi bersama Rintika menuju balkon di kantor tempatnya bekerja.

Mereka berdua meminum air jernih dengan dihadapkan sebuah langit merah jambu bercampur dengan jingga, seakan kenikmatan yang mungkin bisa saja tidak terulang.

“Yang paling saya suka di bulan Ramadhan adalah langit yang berbeda diantara bulan lainnya. Kamu ngerasa gitu gak, Rin?” Nasya bertanya dengan mulut yang penuh mengunyah gorengan.

Rintika mengangguk, ia merasa hal yang sama

“Benar, Sya. Kalau suasana malam di bulan Ramadhan juga, pasti bakal penuh banget sama bintang-bintang yang bertaburan. Seakan mereka meminta kita untuk terus memanjatkan doa-doa dari bawah sini” menatap ke arah langit dengan sebuah senyuman.

Diam sejenak, untuk menenggak ludah yang tersangkut di tenggorokannya. Kemudian melanjutkan bicara “Apalagi, dalam hadits riwayat Baihaqi, bahwasannya ada tiga doa yang paling mustajab yakni salah satunya adalah doa orang yang sedang berpuasa!” ujar Rintika.

Nasya merasakan debaran pada jantungnya, kala Rintika berkata tentang doa-doa itu. Apakah kegundahan di setiap perjalanan Nasya, sebab ia hampir tidak pernah meluapkan keluh kesah pada Tuhannya? Nasya terdiam, untuk merenungkan setiap pikirnya sambil menatap langit penuh sendu.

Melihat Nasya dengan demikian, Rintika seakan berpikir. Apa ia salah bicara?

“Sya! Kamu kenapa?” Tanya Rintika.

“Saya merasa malu pada Tuhan. Ia menampilkan langit dengan begitu indah, yang bisa kita nikmati dari bawah sini. Tapi saya lupa bersyukur. Seperti yang kamu bilang, tampilan langit yang indah seakan mencoba untuk mengingatkan kita untuk terus memanjatkan doa dari bawah sini,” ucap Nasya, dengan rasa bersalah.

Rintika tertegun, seolah mengerti apa yang Nasya rasakan “Doa-doa itu, tidak harus keluh kesah. Tapi bisa juga, ungkapan rasa syukur atas nikmat yang Tuhan beri. Seperti nafas contohnya, sederhana. Namun itu nikmat yang Tuhan beri untuk kita.”

Setelah percakapan di atas balkon itu, Nasya semakin merenungkan diri di setiap harinya. Ia juga jadi rajin sholat malam, sebelum sahur. Petunjuk dari Tuhan sangat ia butuhkan untuknya saat ini. Dengan harap, Tuhan membantu meluluhkan egonya.

“Mah, apa kabar? Nasya udah hampir setahun tidak pulang. Nasya rindu rumah, rindu mamah, rindu adik-adik. Tapi, Nasya bingung harus memulai dari mana.”

Pesan itu yang ia kirim lewat aplikasi WhatsApp, berharap ada respon baik yang dapat ia terima.

Sepulang kerja pada hari ke-15 di bulan Ramadhan, Nasya menghentikan roda motornya pada sebuah warung yang menyajikan banyak menu berbuka puasa. Tak hanya menyajikan menu, mereka juga menyajikan banyak manusia bergerombolan desak-desakan di depan menu tersebut.

“Rame, Bi!” Sahut Nasya, ia menerobos masuk ke area penjual yang tak sembarang orang bisa masuk.

“Iya, Neng. Padahal bibi cuma jual gorengan” merendah untuk meroket, itulah bi Jum. Warung kopi sebelum bulan ramadhan, kini berubah menjadi warung takjil. Bukan hanya gorengan yang ia jual, dari berbagai menu dessert seperti bubur sumsum, setup, sampai berbagai jenis kolak juga ada”.

“Maaf neng, hari ini bibi gak jualan nasi dan menu perikanan lainnya,” ucapnya merasa bersalah, padahal belum tentu itu maksud Nasya kemari

“Tapi bibi punya menu nasi bakar dengan berbagai varian isi, mau?” tawarnya.

Nasya tersenyum mendengarnya, “Saya merasa seperti ibu dewan, di ratukan!” ujarnya kepada bi Jum.

Mendengar ucapan Nasya, bi Jum juga sedikit tertawa. Nasya kemudian memesan apa yang perlu ia pesan, untuk berbuka selepas sampai di rumah petak.

“Nggak buka disini, Neng?” Tanya bi Jum, wajahnya meraup sedikit kesedihan.

“Bi Jum aja udah mau rapih-rapih untuk pulang. Terus saya buka sama siapa disini? Dengan nampan kosong ini?” Nasya merujuk pada satu nampan gorengan yang telah habis.

Lagi-lagi bi Jum tertawa, tampaknya kehadiran Nasya membuat ia bahagia.

“Hal ini yang bakal saya rindu ketika saya pulang kampung nanti. Wajah bi Jum yang ceria, juga nampan-nampan ini yang sedikit warnanya telah memudar. Atau bahkan, desain warung kopi yang minimalis nan sederhana ini”. Nasya berbicara seakan ia akan pergi dengan kurun waktu yang cukup lama.

“Bilang aja, warung kopi kampungan di tengah kota.” Skak Bi Jum.

“Tidak seperti itu, Bi Jum. Maksud Nasya tuh..” sebelum melanjutkan, bi Jum memotong apa yang dikatakan Nasya.

“Di kampung tuh banyak yang kayak gini, Neng. Justru ada yang lebih bagus!”

“Banyak, tapi yang pedagangnya ada bi Jum, kan cuma ada disini,” ucap Nasya.

Bi Jum dengan lantas memeluknya.

Sedikit ada haru dari kata yang diucap oleh gadis itu, membuat bi Jum sedikit meneteskan air pada matanya.

“Bi Jum juga bakal kangen sama, Neng. Pembeli perempuan satu-satunya bi Jum kalau bukan di bulan puasa.”

Nasya membalasnya dengan senyum, kemudian ia hendak pergi setelah dirasa cukup dengan apa yang ia dapati dari warung milik bi Jum itu.

“Neng, tunggu!” Sahut bi Jum, kala Nasya hendak menaiki motor kesayangannya itu.

“Bibi, punya sedikit kupat. Tapi cukup buat dibagiin kalau sama tetangga di kontrakan. Tapi jangan dibagiin semua! Kan biar nengnya juga makan” tanpa persetujuan, bi Jum menaruh keresek berisi kupat pada cantolan motor di bawah setang.

“Gak usah bi..” tolak Nasya ragu-ragu.

“Ah neng, ngga papa. Kebetulan bibi bikin banyak di rumah. Juga bibi lagi ngamalin satu hadits..” ucap bi Jum.

“Hadits apa bi? Awas sesat!” Celetuk Nasya.

“Nggak lah. Sahih. Dari hadits riwayat Ahmad!” Kata bi Jum dengan nada penuh kemenangan, seakan satu kebanggaan baginya mengamalkan suatu hadits di bulan penuh keberkahan ini.

“Hadits yang mana bi? Atuh hadits riwayat Ahmad mah banyak,” Nasya terus mencecar bi Jum untuk mengatakan apa hadits yang dimaksud olehnya.

“Ini loh neng, barang siapa yang memberi makan orang berpuasa, maka pahalanya sama seperti orang yang berpuasa tersebut. Jadi, pahala neng buat bibiii” ucapnya.

Mendengar kalimat terakhir yang diucapkan oleh bi Jum, Nasya terpaksa tersenyum, “Pamit ya bi, assalamualaikum..” lantas melaju dengan motor tersebut.

Bersambung…

Penulis: Lydia
Editor: Nazna