Ironi demokrasi di negeri ini makin terang. Rakyat biasa diwajibkan bergelar sarjana untuk mendapat pekerjaan layak, tapi calon pemimpin negara cukup bermodal ijazah SMA. Lalu, di mana letak keadilan sosial itu ditegakkan?
Keresahan ini mencuat usai Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan uji materi soal syarat pendidikan minimal capres dan cawapres. Permohonan itu diajukan oleh Hanter Oriko Siregar dan Horison Sibarani, yang meminta agar minimal pendidikan bagi pemimpin negara ditingkatkan menjadi sarjana. Namun, dalam amar putusan No. 87/PUU-XXIII/2025, MK menyatakan bahwa batas minimal SMA sudah cukup dan tidak bertentangan dengan konstitusi.
Menurut MK, menaikkan syarat pendidikan justru akan membatasi hak politik warga negara dan mempersempit ruang pencalonan peserta pemilu. Alasan inklusivitas pun dikedepankan, meski realitanya berkata lain.
Di lapangan, rakyat justru dihadapkan pada sederet syarat ketat untuk sekadar melamar kerja. Ijazah sarjana adalah prasyarat minimum, ditambah pengalaman kerja, usia maksimal, tinggi badan, hingga status belum menikah. Hal ini menunjukkan bahwa negara menuntut standar tinggi untuk rakyat, tapi terlalu longgar untuk para elit politik.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, per Februari 2025, terdapat 7,28 juta pengangguran terbuka. Mayoritas berasal dari lulusan SMA/SMK yang tak lolos seleksi kerja karena kalah dalam kompetisi administratif. Di sisi lain, seseorang yang akan memimpin 270 juta jiwa bisa lolos hanya dengan ijazah SMA.
Jika pekerjaan biasa saja harus sarjana, seharusnya pemimpin bangsa dituntut lebih dari itu. Bukan sekadar niat baik, tapi juga kompetensi analitis, kemampuan menyusun kebijakan, dan kapasitas memahami kompleksitas global. Jabatan publik bukan ruang coba-coba, apalagi dikompromikan demi “merangkul semua kalangan”.
Pasal 169 huruf r UU No. 7 Tahun 2017 menyebutkan bahwa pendidikan minimal capres-cawapres adalah lulusan SMA atau sederajat. Ketentuan ini semakin tidak relevan dengan tantangan zaman, ketika dunia kerja dan birokrasi justru menuntut jenjang akademik lebih tinggi.
Meskipun demikian, dalam pertimbangan putusannya, Mahkamah Konstitusi mengakui bahwa tantangan global ke depan semakin kompleks. Pemimpin negara dituntut tidak hanya memiliki pengalaman politik, tetapi juga kapasitas intelektual yang memadai.
Namun demikian, alih-alih merespons kebutuhan tersebut dengan peningkatan standar, MK tetap bertahan pada tafsir lama dengan alasan keterbukaan demokrasi. Sikap ini terkesan mengabaikan urgensi peningkatan kualitas kepemimpinan di tengah era digitalisasi, krisis iklim, dan dinamika geopolitik yang kian cepat berubah.
Isu ini bukan soal diskriminasi pendidikan. Ini tentang konsistensi keadilan dalam bernegara. Jika rakyat ditekan dengan banyak syarat administratif, maka pemimpinnya pun layak diuji dengan kriteria yang lebih berat.
Negara tidak akan adil jika standar untuk rakyat dan pejabat dipasang pada dua level yang berbeda. Demokrasi bukan hanya soal memberi hak, tapi memastikan tanggung jawab dijalankan oleh orang yang kompeten.
Penulis: Mg_Ratu
Editor: Indah