
Tidak semua orang memulai dari tempat yang mudah. Namun beberapa mampu mengubah keterbatasan menjadi pijakan untuk melangkah lebih jauh. Hal itu dilakukan oleh Azzam Fatoni, pemuda asal Pandeglang, Banten, kelahiran 15 Desember 2001. Ia baru saja menyelesaikan studinya sebagai fresh graduate Jurusan Hukum Tata Negara, Fakultas Syariah, Universitas Islam Negeri (UIN) Sultan Maulana Hasanuddin (SMH) Banten.
Meski sempat putus sekolah dan tumbuh dalam kondisi serba terbatas, Azzam berhasil menyelesaikan studi Sarjana Hukumnya. Tak hanya itu, ia juga mencatatkan beragam prestasi di tingkat Nasional hingga Internasional, khususnya dalam bidang public speaking, kepenulisan, dan penelitian.
Azzam pernah mengalami masa sulit setelah lulus dari Sekolah Dasar. Karena kondisi ekonomi keluarga, ia terpaksa berhenti sekolah selama satu tahun. Namun, semangat belajarnya tidak pernah padam. Ia kembali melanjutkan pendidikan di tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP) berkat beasiswa prestasi, lalu meneruskan ke jenjang Sekolah Menengah Atas (SMA) dengan dukungan Program Indonesia Pintar (PIP). Selama di bangku SMA, Azzam bahkan telah mengajar sebagai guru seni di empat sekolah, sebuah bentuk kontribusinya yang lahir dari semangat untuk berbagi dan mengabdi sejak dini.
Setelah lulus SMA, Azzam sempat melanjutkan pendidikan tinggi di Universitas Padjajaran, mengambil jurusan Sastra Jepang. Namun, satu tahun berselang, ia memutuskan untuk mengubah haluan. Keputusan berpindah dari Sastra Jepang ke Hukum bukan tanpa alasan. Ada kemarahan dalam dirinya terhadap sistem yang tak berpihak pada orang kecil. Pilihannya jatuh pada Jurusan Hukum Tata Negara di Fakultas Syariah UIN SMH Banten, sebuah keputusan yang lahir dari refleksi mendalam atas ketidakadilan yang dialami keluarganya.
Pengalaman pahit yang dialami Azzam menjadi titik tolak mengapa ia memilih jurusan hukum sebagai jalan hidup. Menurutnya, ketidakadilan yang menimpa keluarga bukan sekadar kesialan, melainkan masalah sistem yang harus dilawan dengan ilmu.
“Saya masuk hukum atas dasar rasa kemanusiaan dan kemuakan saya, dengan nasib yang menimpa keluarga saya,” ujar Azzam.
Setelah kepergian Ayahnya, ia masih mengingat jelas bagaimana proses untuk mendapatkan bantuan Kartu Indonesia Pintar (KIP) pun dihambat oleh aparat desa. Di tengah situasi sulit itu, prestasi akademik menjadi satu-satunya jalan yang ia kejar demi bertahan dan melanjutkan pendidikan.
“Sepeninggal Ayah, keluarga tidak mendapat bantuan apapun karena dijegal pemerintah Desa, bahkan membuat KIP pun tak bisa. Saya menjadikan prestasi sebagai alasan utama untuk melanjutkan pendidikan,” tambahnya.
Pengalaman pahit itu menjadikan hukum bukan sekadar bidang studi, melainkan alat perjuangan. Ia ingin agar tak ada lagi orang kecil yang tertekan karena ketidaktahuan hukum atau terdzalimi oleh kekuasaan.
“Saya berharap tidak ada Azzam Fatoni selanjutnya yang ditekan karena ketidaktahuannya terhadap hukum dan ditindas oleh orang yang ada di atas, “ tegasnya.
Komitmennya terhadap pendidikan dan keadilan ia wujudkan melalui banyak cara. Selain menjadi mentor kelas menulis bagi mahasiswa, Azzam juga aktif di Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) Kota Serang. Tak hanya itu, Ia juga tergabung dalam berbagai organisasi seperti Law Community, HMI, UPTQ, dan Yayasan Surosowan Cyber.
Kehidupan Azzam mungkin sederhana, tetapi mimpi yang ia bawa jauh dari biasa. Ia bercita-cita menjadi tenaga pendidik sekaligus praktisi hukum yang berdampak bagi masyarakat. Baginya, pendidikan bukan sekadar sarana mobilitas sosial, melainkan kunci utama untuk menciptakan perubahan yang nyata dan berkelanjutan.
“Saya ingin menjadi sosok yang turut serta dalam mencerdaskan kehidupan bangsa, karena problem utama Indonesia adalah pendidikan,” ucapnya.
Tak berhenti di situ, Azzam juga tengah mempersiapkan diri untuk studi lanjut ke luar negeri.
“Saya berencana untuk melanjutkan studi ke luar negeri dan menjadi tenaga pendidik sekaligus praktisi,” ujarnya.
Saat ini, fokus utamanya adalah memperkuat kapasitas intelektual. Ia memperkaya diri dengan literatur, memperbanyak publikasi, dan terus mendalami bidang akademik yang digelutinya.
“Sekarang saya fokus pada perbendaharaan literatur, perbanyak publikasi, pendalaman akademik dan kapasitas, juga tengah memenuhi beberapa PR bacaan,” pungkasnya.
Prestasi Akademik dan Kompetitif

Selama menempuh pendidikan tinggi, Azzam berhasil meraih berbagai prestasi yang membanggakan di tingkat Nasional. Ia tercatat sebagai Juara Umum 3 dalam ajang Peradilan Semu Tingkat Nasional Tahun 2023, sekaligus meraih dua penghargaan individu sebagai Mediator Terbaik dan Berkas Peradilan Terbaik 3. Di bidang debat hukum, ia sukses menyabet Juara 2 Debat Hukum Nasional Tingkat Regional POLDA Banten, dan terbaik 1 Best Speaker di event yang sama, terbaik 3 Debat Hukum Nasional Fakultas Hukum Se-Indonesia Tingkat Zona Barat (Aceh-Metro) dan terbaik 2 Debat Konstitusi Piala Mahkamah Konstitusi Nasional. Tak hanya terbatas pada ranah hukum, Azzam juga aktif dalam dunia seni dengan menjadi Juara 1 Lomba Rebana Tingkat Nasional, menandakan kemampuannya yang multitalent
Kiprah Delegatif dan Kontribusi Nasional-Internasional

Selain aktif dalam kompetisi, Azzam juga kerap tampil dalam berbagai forum ilmiah dan kegiatan akademik berskala nasional hingga internasional. Ia pernah menjadi delegasi pertukaran mahasiswa ke UIN Pekalongan, di mana ia dipercaya menjadi pembicara dalam Seminar Hukum acara Perdata. Kesempatan tersebut tak hanya memperkuat kemampuannya dalam berbicara di forum akademik, tetapi juga memperluas jaringan keilmuan antar mahasiswa se-Indonesia.

Tak berhenti di tingkat nasional, Azzam juga terpilih mengikuti program pertukaran penelitian ke Turki, yang mempertemukannya dengan lingkungan akademik internasional dan memperdalam pengalaman riset lintas budaya. Selain itu, ia juga pernah menjadi pengisi acara di Lampung saat kelas dua SMA, hal ini memperlihatkan peran aktifnya dalam mendiseminasikan ilmu dan pengalaman kepada khalayak luas, khususnya generasi muda.
Refleksi Sosial dan Relevansi Perjuangan
Kisah Azzam Fatoni bukan sekadar perjalanan seorang mahasiswa dari Pandeglang yang menorehkan prestasi. Lebih dari itu, ia adalah potret dari wajah Indonesia hari ini, di mana pendidikan masih belum sepenuhnya menjadi alat pemerataan, dan ketidakadilan birokrasi kerap menghambat mereka yang paling membutuhkan.
Pernyataannya bahwa “problem utama Indonesia adalah pendidikan” bukan hanya refleksi pribadi, tapi juga cermin realitas sosial. Data menunjukkan masih banyak siswa dari keluarga miskin yang tidak mendapatkan bantuan pendidikan secara layak, seperti kasus anak-anak di daerah 3T (Tertinggal, Terdepan, dan Terluar) yang kesulitan akses KIP atau bahkan harus berjalan puluhan kilometer demi sekolah. Di sisi lain, transparansi dan distribusi bantuan kerap terkendala praktik diskriminatif di tingkat lokal seperti yang Azzam dan keluarganya alami langsung pasca wafatnya sang ayah.
Dalam situasi seperti ini, keberanian Azzam untuk melawan dengan cara elegan melalui prestasi, advokasi hukum, dan dedikasi dalam pendidikan merupakan bentuk perlawanan yang sunyi namun berdampak. Ia tidak hanya sedang memperjuangkan dirinya sendiri, tetapi juga membuka jalan bagi generasi muda lain agar tidak tumbang karena ketidaktahuan hukum atau tertindas oleh ketimpangan struktural.
Harapannya untuk “tidak ada Azzam Fatoni lain yang ditekan karena ketidaktahuan terhadap hukum” adalah suara yang mewakili jutaan anak muda Indonesia yang mendambakan keadilan dan pendidikan yang merata. Di tengah tantangan bangsa yang kompleks, sosok seperti Azzam menghadirkan harapan bahwa perubahan bisa dimulai dari ruang kelas, dari kata-kata, dari suara seorang mahasiswa yang berani bersuara.
Penulis: Nabila Alsabila