Cahaya Ramadan di Pinggir Jalan

0
23 views

Bagian Dua: Derita di Balik Senyum

Aku mengunyah suapan terakhir nasi bungkus itu, dengan hati yang masih diliputi haru. Hangatnya makanan menyusup hingga ke jiwaku, seolah memberi pelipur dari dinginnya kehidupan yang menelanku tanpa belas kasihan. Lelaki tua itu menatapku dengan senyum lembut sebelum beranjak, kembali mendorong gerobaknya yang penuh dengan nasi bungkus untuk dibagikan kepada mereka yang bernasib serupa denganku.

Aku ingin berterima kasih lebih banyak, tetapi kata-kata tersangkut di tenggorokanku. Hatiku terasa hangat, tapi juga nyeri. Aku rindu sentuhan ibu. Aku rindu bagaimana ia dulu menyelipkan sepotong roti ke tanganku saat sahur, meskipun dirinya sendiri hanya minum air putih. Namun, kini semua hanyalah kenangan yang tak akan pernah kembali.

Malam semakin larut. Aku berjalan ke bawah jembatan layang, tempat biasa aku membaringkan tubuh. Angin malam menusuk kulitku, membuat tubuhku menggigil. Aku menarik lutut ke dada, mencoba menghangatkan diri. Di seberang jalan, seorang anak kecil yang lebih muda dariku duduk bersandar di dinding, memeluk perutnya yang lapar. Wajahnya tirus, matanya kosong, seakan dunia telah mengambil semua yang ia miliki.

Aku merogoh sisa nasi bungkusku. Separuh masih tersisa. Hatiku berdebar, tetapi sesuatu dalam diriku mendorongku untuk bangkit. Aku berjalan ke arahnya dan mengulurkan bungkus itu.

“Kamu lapar?” tanyaku.

Anak itu menatapku ragu, seakan takut ini hanya tipuan.

“Makanlah,” lanjutku. “Aku masih kenyang.”

Tanpa banyak bicara, ia menerima nasi itu dan langsung menyuapkannya ke mulut dengan lahap. Aku menelan ludah, menekan kembali rasa laparku sendiri. Setidaknya, aku masih lebih kuat darinya.

“Namaku Rama,” kataku setelah beberapa saat.

Anak itu mengangkat wajahnya yang kotor. “Aku Elang.” Katanya dengan banyak sisa nasi disekitar mulutnya, ia makan dengan tergesa. Wah berapa hari anak ini tidak makan, pikirku sebelum duduk disampingnya.

Kami duduk berdampingan, berbagi keheningan. Aku memandang ke langit, mencari bintang yang mungkin bisa memberiku harapan. Tapi yang kulihat hanyalah awan pekat yang menggantung di langit, seperti nasibku yang tak jelas.

Keesokan harinya, aku kembali ke perempatan, kembali menjadi patung hidup di tengah hiruk-pikuk kota. Keringat bercampur dengan cat silver di tubuhku, membuatnya lengket dan semakin gatal. Aku berdiri membisu, hanya bisa mengedip dan bernapas. Lampu merah menyala, dan aku mulai bergerak pelan, meniru gerakan robot seperti yang biasa kulakukan.

Beberapa orang melemparkan receh ke kalengku, sebagian hanya melirik tanpa minat. Tiba-tiba, seorang pria berjas rapi mendekat. Aku menunduk, berharap ia akan memberiku uang. Tapi yang terjadi justru sebaliknya.

“Cepat pergi dari sini! Kalian mengganggu ketertiban!” bentaknya.

Aku tersentak.

“Tapi, Pak… saya hanya—”

Pria itu tak memberi kesempatan. Dengan satu tendangan, ia menjatuhkan kalengku, membuat koin-koin receh berhamburan di trotoar.

“Pergi!”

Hatiku terluka. Aku bergegas memunguti uang recehku, tetapi orang-orang hanya berjalan melewatiku, menginjaknya tanpa peduli. Tanganku gemetar. Aku ingin menangis, tapi air mataku terlalu mahal untuk dibuang sia-sia.

Aku berlari dari sana, meninggalkan kaleng yang masih terguling. Aku tidak ingin menarik perhatian lebih banyak lagi.

Elang menungguku di bawah jembatan, wajahnya kusut. “Kenapa?” tanyanya saat melihat wajahku yang memerah menahan marah dan sedih.

Aku tidak menjawab. Aku hanya duduk dan menatap kosong ke jalanan.

“Rama,” suara Elang bergetar, “aku ingin pulang.”

Aku menoleh. “Kamu punya rumah?”

Elang mengangguk. “Dulu. Tapi ibu sudah tiada, ayah pergi entah ke mana. Aku takut sendiri.”

Aku menelan ludah. Aku ingin berkata bahwa aku juga takut. Aku ingin mengatakan bahwa aku juga rindu rumah, rindu seseorang yang memelukku dan berkata bahwa semuanya akan baik-baik saja. Tapi aku tahu, dunia kami tidak memberi tempat untuk kelemahan.

Elang menunduk, menggenggam bajunya yang lusuh. “Kalau aku mati, apakah aku akan bertemu ibu lagi?” tanyanya pelan.

Dadaku terasa sesak. “Jangan bilang begitu, Elang…”

Ia tidak menjawab. Hanya diam, menatap malam yang semakin pekat.

Di kejauhan, suara azan maghrib menggema. Aku memejamkan mata, mengingat satu nasihat yang pernah kudengar dari ibu semasa beliau masih hidup. Ibu pernah berkata, “Siapa yang menghilangkan satu kesusahan dari seorang di dunia, Insyaallah, Allah akan balas dengan kebaikkan dan meringankan bebannya, kamu harus menjadi seperti itu yah, Rama. selalu berbuat baik dengan sesama.” Ucap Ibu kala itu dengan mengutip hadis Riwayat Muslim yang beliau dengar dari sebuah acara pengajian.

Aku ingin meyakini bahwa hari esok akan lebih baik. Aku ingin percaya bahwa Allah tidak akan meninggalkan kami. Namun, malam ini, di bawah jembatan yang dingin, aku merasa, keyakinan itu terasa begitu jauh.

Bersambung……

Penulis: Frida
Editor: Enjat