Di Banten, asap batu bara masih mengepul, abu masih berterbangan, dan sawah masih terpapar partikel halus yang tak kasatmata. Namun di panggung politik, narasinya sudah berubah yakni lebih hijau, lebih modern, lebih seolah-olah berpihak pada masa depan. Itulah wajah baru kebijakan energi wajah yang berganti, tapi tubuhnya tetap berotot batu bara.
Banten, sebagai salah satu pusat industri energi fosil di Indonesia, kini ikut dimasukkan ke dalam narasi besar transisi menuju Energi Terbarukan. Di atas kertas, targetnya terlihat ambisius yaitu porsi Energi Terbarukan 23 persen pada 2025. Namun di lapangan, dominasi pembangkit batu bara masih begitu kuat. PLTU-PLTU di Cilegon, Labuan, dan sekitarnya tetap beroperasi penuh, sementara rencana penutupannya berjalan lambat. Pemerintah pusat menargetkan penghentian total PLTU pada 2056 yakni jauh dari tren global yang mematok batas sebelum 2040.
Konsekuensi dari situasi ini bukan sekadar angka emisi di laporan tahunan, tapi langsung menyentuh kesehatan masyarakat. Abu batu bara yang keluar dari cerobong pembangkit terbawa angin, menyebar ke pemukiman, menempel di atap rumah, dan turun ke tanah. Partikel halus ini mudah terhirup, memicu penyakit pernapasan kronis, iritasi mata, hingga meningkatkan risiko kanker paru-paru. Dampaknya juga bisa terasa di sektor pertanian. Partikel yang jatuh ke sawah dapat mengganggu proses fotosintesis pada tanaman padi dan mengubah kualitas tanah. Jika berlangsung terus-menerus, penurunan hasil panen hanya tinggal menunggu waktu.
Ironisnya, momentum transisi energi di Banten belum diarahkan untuk membangun sistem energi yang lebih adil. Potensi besar seperti tenaga surya di daerah pesisir atau mikrohidro di kawasan pegunungan belum tersentuh secara serius. Arah kebijakan masih condong pada proyek skala besar yang dikuasai korporasi, sering kali mengabaikan pengembangan pembangkit berbasis komunitas yang bisa memberi manfaat langsung bagi warga.
Persoalan keadilan sosial juga tidak mendapat perhatian memadai. Ribuan pekerja di sektor batu bara di Banten menghadapi ancaman kehilangan pekerjaan tanpa jaminan pelatihan ulang atau integrasi ke industri energi bersih. Sementara itu, masyarakat dengan penghasilan rendah tetap menanggung beban akibat pengurangan subsidi energi, tanpa mekanisme perlindungan yang memadai.
Kesenjangan akses listrik masih nyata di sebagian wilayah, kita ambil contoh pulau Tunda, salah satu pulau yang berada di kabupaten Serang belum terjangkau listrik di siang hari dan hanya ada listrik dimalam saja. Pemerataan yang lebih rendah dibandingkan kota-kota industri menunjukkan bahwa energi bersih belum berarti energi untuk semua. Tanpa pemerataan, transisi energi hanya akan menjadi slogan yang terdengar indah di Jakarta tetapi hampa di pelosok.
Selama subsidi batu bara tetap dipertahankan, kontrak panjang dengan perusahaan tambang diperpanjang, dan kebijakan energi dikendalikan oleh segelintir pelaku besar, Banten tidak akan benar-benar berpaling dari masa lalu fosilnya. Wajah kebijakan mungkin berganti dari abu-abu menjadi hijau, tetapi sistemnya tetap mengabdi pada logika lama yakni keuntungan terkonsentrasi sedangkan biaya sosial diserahkan pada publik.
Padahal, alternatif itu sudah ada dan terbukti jalan. Di Pulau Sangiang, sebuah komunitas bernama Pena Masyarakat membangun Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) sederhana untuk menerangi rumah dan lahan warga di malam hari. Inisiatif ini lahir bukan dari proyek raksasa, melainkan dari kebutuhan sehari-hari dan gotong royong warga, untuk mengurangi ketergantungan pada genset mahal dan melindungi lahan dari serangan hama. Tanpa merusak lingkungan, tanpa merampas tanah, dan tanpa jargon kosong, tenaga surya di Sangiang membuktikan bahwa transisi energi bisa dilakukan dengan cara yang ramah lingkungan, murah, dan berpihak pada masyarakat.
Jika pemerintah di Banten benar-benar serius membangun masa depan energi yang berkelanjutan, seharusnya mereka belajar dari contoh ini, transisi energi tidak selalu harus datang dari proyek miliaran, tapi bisa tumbuh dari komunitas yang paham betul akan kebutuhannya sendiri. Itulah wajah transisi energi yang sebenarnya bukan sekadar pergantian warna di laporan, tapi perubahan nyata yang menyentuh kehidupan.
Penulis: Nabila Alsabila
Konten ini merupakan bagian dari kolaborasi kampanye dengan Perhimpunan Pengembangan Media Nusantara untuk isu transisi energi berkeadilan