Istilah reformasi Polri sudah terlalu sering terdengar di telinga publik, tetapi perubahan nyata yang diharapkan tak kunjung dirasakan. Pekan lalu, pemerintah mengumumkan pembentukan Komite Reformasi Polri yang disetujui Presiden Prabowo Subianto. Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo pun menegaskan Polri terbuka terhadap kritik. Namun, publik tampak tidak lagi mudah percaya. Janji reformasi terlalu sering berhenti pada tataran seremonial, sementara praktik pelanggaran di lapangan berulang tanpa koreksi mendasar.
Data yang dikutip dari detikNews justru mempertegas keraguan masyarakat. Dalam rangkaian demonstrasi akhir Agustus hingga awal September, Polri menangkap 3.195 orang. Dari jumlah tersebut, 387 orang dibebaskan, 55 ditetapkan sebagai tersangka, sementara ribuan lainnya menggantung status hukumnya. Angka ini memperlihatkan bahwa pendekatan represif masih lebih dominan, menangkap secara massal lebih mudah ketimbang memilah siapa pelaku kriminal dan siapa warga yang hanya menyalurkan hak konstitusionalnya untuk menyampaikan pendapat.
Kasus tragis kematian Affan Kurniawan, pengemudi ojek online yang tewas ditabrak kendaraan taktis Brimob, semakin memperburuk kepercayaan publik. Sidang etik memang menjatuhkan sanksi pemecatan tidak hormat terhadap Kompol Kosmas Kaju Gae serta demosi tujuh tahun bagi Bripka Rohmad. Tetapi publik tahu, sanksi etik hanyalah hukuman administratif, jauh dari upaya menghadirkan keadilan substantif.
Komnas HAM telah menegaskan bahwa kasus ini tergolong pelanggaran HAM, sehingga seharusnya diproses melalui mekanisme pidana terbuka. Namun hingga kini, yang terdengar hanyalah janji penyelidikan tanpa kepastian hasil. Pola impunitas seperti inilah yang membuat masyarakat semakin pesimis terhadap komitmen reformasi Polri.
Kritik juga datang dari Indonesia Police Watch (IPW), yang menilai momentum reformasi tidak tepat jika kasus-kasus konkret mulai dari kerusuhan hingga pelanggaran HAM, tidak diselesaikan terlebih dahulu melalui Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF). Kritik ini relevan, bagaimana mungkin berbicara tentang reformasi besar, sementara luka masyarakat akibat tindakan represif aparat masih dibiarkan menganga? Jika tuntutan ini terus diabaikan, Komite Reformasi hanya akan menjadi panggung politik yang kosong dari substansi.
Reformasi Polri seharusnya tidak berhenti pada retorika. Yang dibutuhkan adalah langkah konkret, membuka seluruh proses investigasi ke publik, memperkuat mekanisme pengawasan independen, serta menindak tegas pejabat maupun anggota tanpa pandang bulu. Tanpa itu semua, krisis kepercayaan akan semakin dalam, dan Polri yang seharusnya menjadi pelindung rakyat justru akan terus dipersepsikan sebagai ancaman bagi demokrasi. Reformasi sejati bukan soal menjaga citra, melainkan mengembalikan legitimasi yang sudah lama hilang di mata masyarakat.
Penulis : Saroh
Editor : Lydia