BerandaSuara MahasiswaDuka Yang Dibungkam: Refleksi Film "Women From Rote Island"

Duka Yang Dibungkam: Refleksi Film “Women From Rote Island”

Oleh: Olip – Mahasiswa Fakultas Dakwah

Pada Rabu 19 Februari 2025, beberapa organisasi mahasiswa eksternal mengadakan kegiatan bedah film karya Jeremias Nyangoen dengan judul “Women From Rote Island” di parkiran fakultas dakwah.

Kegiatan ini diselenggarakan oleh Gerpuan Hasanuddin, HAMAS, IMC, KMS, dan KOPRI PMII Komisariat UIN SMH Banten, sebagai upaya untuk meningkatkan kesadaran gender, pencegahan kekerasan seksual dan kritik terhadap Lembaga kampus serta organisasi mahasiswa, yang cenderung abai dan tidak memprioritaskan isu kekerasan seksual.

Film Women From Rote Island, karya Rumah Produksi Bintang Cahaya Sinema dan Langit Terang Sinema, mendapat penghargaan Citra Festival Film Indonesia (FFI 2023) sebagai film cerita panjang terbaik. Jeremias Nyangoen sebagai sutradara juga mendapat penghargaan kategori penulis skenario asli terbaik dan sutradara terbaik. Pada piala Oscar 2025 atau ajang Academy Awards ke-97, film tersebut masuk nominasi Oscar Best International Feature Film. Tidak diragukan lagi, film ini sangat bagus untuk ditonton.

Film ini mengkampanyekan kekerasan seksual yang masih dianggap tabu dan cenderung berpihak pada pelaku ketika terjadinya tindakan kekerasan seksual. Lambannya penanganan kasus oleh lembaga penegak hukum, menjadikan film ini relate dengan kondisi di kampus UIN SMH Banten yang belum memprioritaskan pencegahan dan penanganan kekerasan seksual dikampus.

Ketidakseriusan itu dapat kita lihat dari kerja-kerja Lembaga PSGA dan SATGAS PPKS, keberpihakan civitas akademik, serta instrument hukum yang dimiliki oleh kampus. Forum yang dihadiri oleh mahasisiwa dari berbagai jurusan mengaku belum mengetahui adanya Lembaga PSGA dan Satgas PPKS di kampus. Termasuk siapa saja yang ada pada lembaga tersebut dan instrument hukum apa yang digunakan dalam pencegahan dan penanganan nya.

Padahal, pada tahun 2021 rektor mengeluarkan kebijakan berupa SK Rektor Nomor 1120 tentang pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di lingkungan UIN SMH Banten. Akan tetapi, PSGA ataupun SATGAS PPKS tidak pernah mensosialisasikan kebijakan tersebut, baik melalui tulisan, diskusi maupun dalam seminar.

Sedangkan kekerasan seksual kian hari terus terjadi, pelaku masih dapat berkeliaran, korban kebingunan melapor, dan trauma menghantui setiap langkah dari korban. Baik organisasi mahasiswa ataupun kampus, sampai saat ini belum memprioritaskan isu kekerasan seksual dan cenderung abai serta masih menganggap sebagai isu kelompok perempuan.

Lembaga kampus harus hadir untuk meyakinkan mahasiswa bahwasanya, kampus UIN SMH Banten aman sebagai tempat untuk menempuh pendidikan. Mengintimidasi mahasiswa yang menyuarakan aspirasi itu bukan ciri seorang akademisi. Maka bangunan perspektif eksistensi kampus harus berlandaskan pada kebenaran, keadilan, dan keberpihakan pada korban.

Memilih diam di tengah carut marut kekerasan seksual di kampus berarti berpihak pada ketidakadilan. Duka korban dibungkam secara srtuktur dan sistemik di tempat orang-orang belajar berkumpul. Padahal, pengetahuan itu untuk mempertajam pikiran, melembutkan hati, mendidik ego, menguatkan iman, dan berpihak pada kebenaran dan keadilan. Situasi hari ini justru kampus mengalami surplus, kenakalan seksual dan defisit kenakalan intelektual, akibat dari menormalisasikan kekerasan seksual dengan diam dan abai.

- Advertisment -

BACA JUGA