Seni telah lama menjadi media ekspresi yang kuat, bukan hanya untuk individu, tetapi juga bagi masyarakat luas. Melalui berbagai bentuk seperti lukisan, musik, sastra, film, dan teater, seni tidak sekadar estetika, melainkan juga alat untuk menyampaikan pesan, mengkritik kekuasaan, dan merefleksikan realitas sosial.
Namun, ketika menyentuh isu-isu sensitif, seni sering kali menjadi sasaran sensor, pelarangan, bahkan pembungkaman. Fenomena ini menimbulkan pertanyaan mendasar: mengapa seni begitu sering dianggap sebagai ancaman?
Menurut Imam Setyobudi dalam artikelnya “Budaya Perlawanan di Ranah Seni Indonesia: Produksi-Diri Masyarakat, Habitus, Komodifikasi”, seni memiliki daya emosional yang mampu menggugah kesadaran publik dengan cara yang tidak dimiliki oleh wacana akademik atau jurnalistik.
Jika tulisan ilmiah dan berita bergantung pada logika dan fakta, seni bekerja melalui perasaan dan imajinasi. Efeknya lebih dalam, lebih personal, dan lebih berpengaruh dalam membentuk opini publik. Justru karena kekuatan inilah seni kerap dianggap berbahaya oleh pihak-pihak yang ingin mempertahankan status quo.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), “status quo” diartikan sebagai keadaan yang tetap seperti sediakala. Dalam konteks sosial dan politik, mereka yang ingin mempertahankan status quo adalah kelompok yang menolak perubahan dan merasa terancam oleh kritik, termasuk kritik yang disampaikan melalui seni.
Berbeda dari retorika formal, seni memiliki cara tersendiri dalam menjangkau masyarakat luas. Pesan yang disampaikan melalui lagu, mural, atau film sering kali lebih efektif dalam membentuk kesadaran kolektif dibandingkan pidato atau tulisan akademik.
Sebagian juga beranggapan bahwa seni seharusnya netral atau sekadar hiburan. Namun, sejarah membuktikan bahwa seni selalu memiliki peran dalam perubahan sosial. Dalam jurnal “Seni, Demokrasi, dan Kebebasan Berekspresi dalam Media Sosial”, Supriyanto dkk menegaskan bahwa seni adalah sarana komunikasi yang kuat dalam menyuarakan ketidakadilan dan mendorong perubahan.
Dari lagu-lagu protes yang menggema di era perlawanan, mural yang mengungkapkan ketidakadilan, hingga film yang membongkar kebobrokan sistem, semuanya adalah bukti bagaimana seni menjadi suara bagi mereka yang tidak memiliki kuasa.
Sayangnya, pembungkaman seni sering kali berakar pada kepentingan politik dan ekonomi. Monica Yohari Listianingtyas, dalam penelitiannya “Sensor Film di Indonesia dan Permasalahannya dalam Perspektif Sejarah”, menjelaskan bagaimana pemerintah, korporasi besar, atau kelompok tertentu dapat menggunakan dalih “menjaga stabilitas” untuk membungkam karya seni yang dianggap merugikan mereka.
Sensor kerap diberlakukan bukan karena seni itu sendiri berbahaya, melainkan karena ada pihak yang merasa terancam oleh kebenaran yang diungkapkan melalui seni.
Ironisnya, upaya pembungkaman ini justru menegaskan betapa besar pengaruh seni dalam membentuk pola pikir dan mendorong diskusi. Jika seni memang bukan persoalan besar, mengapa ada begitu banyak upaya untuk mengekangnya?
Kebebasan berekspresi semestinya menjadi hak fundamental setiap individu, termasuk seniman. Jika seni terus dibungkam, kita akan kehilangan salah satu media paling berharga untuk memahami dan mengkritik suatu ketidakadilan.
Maka, pertanyaan yang lebih tepat bukanlah mengapa seni harus menjadi suatu media perlawanan untuk menyampaikan suatu hal, tetapi mengapa ada pihak yang merasa terancam oleh kebebasan ekspresi tersebut.
Penulis: Frida
Editor: Lydia