Kesulitan mengakses ruang publik, masih menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari, bagi penyandang disabilitas di Kota Serang. Teguh, seorang penyandang disabilitas daksa yang bergantung pada tongkat untuk bergerak, telah menyaksikan perubahan kota selama beberapa tahun terakhir. Namun perbaikan tersebut belum memberikan rasa aman yang memadai.
Sejak tinggal di rumah yang sekaligus menjadi sekretariat yayasan disabilitas pada 2018, ia melihat langsung bagaimana anggota komunitasnya menghadapi hambatan serupa setiap hari.
“Sekarang mending, walaupun ada di beberapa bagian kadang-kadang terpotong garis guiding block nya, kadang terhalang pohon, dimiringkan. Jadi guiding block nya itu tidak lurus” ujarnya saat ditemui, di rumahnya pada Selasa (18/11/2025).
Alih-alih membantu, jalur pemandu yang semestinya memudahkan justru kerap berbelok tanpa arah jelas dan membingungkan, terutama bagi penyandang netra. “Teman netra juga sering kepentok, sampai ada yang sobek kepalanya,” tambahnya.

Pengalaman buruk lain yang masih diingat Teguh ketika ia terjatuh akibat melintasi trotoar yang tidak rata. Ia masih mengingat dulu material trotoar di Serang menggunakan keramik licin, sehingga resiko terpeleset sangat besar. Meskipun sebagian permukaan kini sudah diganti, masalah tidak berhenti di situ.
Pada beberapa titik, trotoar digunakan pedagang untuk berjualan atau bahkan dilewati sepeda motor. “Masih banyak pedagang, kadang dipakai motor,” ujarnya.
Kondisi tersebut membuatnya harus turun ke badan jalan, pilihan yang berbahaya di tengah arus kendaraan.
“Saya pakai tongkat, jadi kalau jalurnya terputus atau licin, tongkat saya sering nyangkut jadi terpaksa turun ke badan jalan,” jelasnya.
Teguh menilai bahwa kurangnya pelibatan komunitas disabilitas dalam proses perencanaan turut memperburuk kondisi aksesibilitas di Kota Serang. Ia menekankan bahwa pemerintah kerap mengambil keputusan desain tanpa benar-benar mendengarkan pengalaman dan kebutuhan para pengguna utama fasilitas tersebut.
“Kami belum pernah diajak bicara oleh PUPR atau dinas terkait. Dengan dinas lain pernah, tapi kalau soal pembangunan jalan, kami belum pernah dilibatkan,” ujarnya.
Ia juga mengkritisi sejumlah kebijakan yang dianggap ramah disabilitas tetapi sejatinya tidak inklusif dalam praktiknya. Salah satu contohnya adalah penyediaan toilet khusus penyandang disabilitas yang menurutnya justru memperkuat pemisahan dan diskriminasi.
“Penyandang itu kan manusia, kebijakan itu harus adil. Toilet itu harusnya bisa dipakai semua, jangan dibedakan,” tegasnya.

Hambatan yang sama dialami Misri, anggota yayasan yang tinggal di kawasan Trondol. Ia mengaku hampir tidak pernah keluar rumah sendirian, bukan karena faktor fisik semata, tetapi karena kondisi jalan yang tidak mendukung mobilitas yang aman.
“Tidak pernah keluar rumah sendirian, takut. Soalnya kondisi jalan di sekitar perkampungan memang menyulitkan,” tuturnya, pada Selasa (18/11/2025).
Untuk bepergian, ia biasanya mengandalkan keluarga atau teman komunitas. Menurutnya, banyak guiding block tampak rapi secara visual, tetapi pemasangannya tidak mempertimbangkan pola gerak pengguna.
“Harusnya lurus, ini malah belok ke penghalang,” katanya.
Ia juga menambahkan bahwa fasilitas tersebut hanya ditemukan di jalan-jalan protokol. “Yang ada guiding block nya cuma ada di protokol kota. Di dalam perumahan tidak ada,” pungkasnya.
Data yang dihimpun Badan Pusat Statistik (BPS) dan sejumlah instansi pemerintah menunjukkan bahwa isu aksesibilitas di Kota Serang menyangkut kelompok masyarakat yang jumlahnya tidak kecil. Dalam distribusi penyandang disabilitas per wilayah, BPS mencatat lebih dari 500 penyandang disabilitas daksa tinggal di Kota Serang. Jika digabungkan dengan kelompok netra, rungu, intelektual, dan disabilitas ganda, jumlahnya mendekati seribu jiwa.
Data Pemerintah Provinsi Banten tahun 2020 juga menunjukkan angka yang hampir serupa, yaitu 776 penyandang disabilitas yang tercatat di Kota Serang, mencakup berbagai kategori kebutuhan.
Pendataan dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) memberi gambaran berbeda mengenai kelompok yang aktif berinteraksi dengan layanan publik. Padahal Pilkada Kota Serang 2024, terdapat 1.320 pemilih penyandang disabilitas dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT), meliputi disabilitas fisik, netra, rungu, mental, intelektual, dan wicara. Angka ini menunjukkan bahwa jumlah penyandang disabilitas yang terdata dalam sistem administrasi, khususnya pemilu, lebih tinggi dibandingkan dengan catatan sosial pemerintah daerah.
Pandangan dari pihak Pendidikan khusus turut menguatkan gambaran mengenai kondisi aksesibilitas di Kota Serang. Kepala Sekolah SKH Elmayra Shanum, Syifaun Najat, yang setiap hari mendampingi siswa penyandang disabilitas, menilai bahwa fasilitas publik yang tersedia masih belum menjawab kebutuhan dasar penggunanya. Ia mengakui bahwa sejumlah sarana mulai dibangun, namun pelaksanaanya kerap tidak sesuai dengan fungsi yang semestinya.
“Kalau dilihat sepintas, fasilitasnya ada. Tetapi ketika digunakan, banyak yang tidak tepat sasaran,” ujarnya, pada Rabu (19/11/2025).
Menurutnya, jalur pemandu, ramp, dan elemen aksesibilitas lain belum dirancang berdasarkan pola mobilitas penyandang disabilitas sehingga tidak sepenuhnya dapat dimanfaatkan.
Menurutnya, Kota Serang masih berada jauh dari kategori kota ramah disabilitas. Ia sering menjumpai trotoar baru yang tampak rapi, tetapi tidak ramah digunakan. Banyak guiding block berakhir pada rintangan, sementara ramp dibangun dengan kemiringan yang tidak memenuhi standar. “Sering saya lihat guiding block sudah dipasang, tapi malah arahnya ke tiang atau tembok,” tuturnya. Dalam kondisi seperti ini, fasilitas yang seharusnya mendukung mobilitas justru dapat menimbulkan risiko.
Lebih lanjut, Syifaun Najat menegaskan bahwa pembangunan fasilitas ramah disabilitas tidak cukup hanya memenuhi aspek visual atau keberadaan fisiknya. yang lebih penting adalah bagaimana fasilitas tersebut benar-benar berfungsi bagi penggunanya. Ia menyebut banyak fasilitas publik yang secara administratif memenuhi unsur ramah difabel, namun tidak didukung pengawasan atau edukasi bagi masyarakat. “Trotoar kadang sudah bagus, tapi dipakai parkir atau jualan. Jadi percuma, teman-teman disabilitas tetap turun ke jalan,” ujarnya.

Syifaun Najat berharap Pemerintah Kota Serang dapat melibatkan sekolah luar biasa, yayasan disabilitas, dan komunitas pengguna langsung dalam proses perencanaan maupun evaluasi pembangunan. Menurutnya, tanpa pelibatan tersebut, kebijakan cenderung tidak tepat sasaran.
“Kami siap dilibatkan, karena kami tahu apa yang dibutuhkan anak-anak di lapangan. Jangan sampai fasilitas dibangun, tapi tidak bisa dipakai,” pungkasnya.
Respons Pemerintah Kota Serang melalui Dinas PUPR menunjukkan bagaimana kebijakan aksesibilitas dipahami dan diterapkan pada tingkat teknis. Staf Bidang Bina Marga, Febri Kurniawan, menjelaskan bahwa pembangunan trotoar di Kota Serang telah mengacu pada regulasi nasional, yaitu pedoman Dirjen Bina Marga Nomor 7 Tahun 2023 sebagai pedoman terbaru pembangunan fasilitas pejalan kaki. Mereka menegaskan bahwa setiap proyek di ruas protokol wajib memuat aksesibilitas dasar.
“Setiap Pembangunan trotoar itu sudah masuk unsur-unsur aksesibilitas. Ada guiding block, ramp, dan ada space nya,” ujar Febri, pada Selasa (18/11/2025).

Menurut Febri, sejumlah ruas jalan seperti Kawasan Royal, jalur menuju Rumah Sakit Derajat, serta area sekitar Alun-alun Serang telah ditata dalam beberapa tahun terakhir. Namun, seluruh pembangunan dilakukan secara bertahap karena keterbatasan anggaran. “Anggarannya terbatas jadi pembangunan harus dilakukan secara bertahap,” jelas Febri. Dinamika sosial turut menjadi tantangan, terutama pengguna trotoar oleh pedagang kaki lima atau kendaran bermotor yang menghambat fungsi jalur pejalan kaki, penertiban, menurut mereka merupakan kewenangan instansi lain. “Kalau sudah dibangun rapi, tapi digunakan untuk berdagang, itu di luar kendali kami. Itu ranahnya Satpol PP,” tambahnya.
Ia juga mengkonfirmasi bahwa pemerintah sedang mengerjakan proyek penataan pedestrian berskala besar di Kawasan Royal. Proyek ini menjadi yang pertama sepenuhnya dikerjakan di bawah kewenangan Pemerintah Kota Serang. Febri menjelaskan bahwa desain kawasan Royal mencakup ruang bebas trotoar selebar 1,2-1,5 meter, ramp pada titik penyeberangan, serta pemasangan bolar sebagai pengaman agar kendaraaan bermotor tidak naik ke trotoar.
“Kami berharap Kawasan Royal bisa jadi contoh awal bagi pembangunan di ruas lainnya,” ujarnya.
Meski demikian, Febri mengaku bahwa pembangunan menghadapi sejumlah hambatan. Selain keterbatasan anggaran, pemerintah juga berhadapan dengan penolakan pedagang kaki lima dan juru parkir yang terdampak penataan kawasan. Dialog dengan komunitas disabilitas juga belum berjalan optimal. “Hambatannya banyak, mulai dari anggaran, penertiban PKL, lalu kami belum pernah berdiskusi langsung dengan komunitas disabilitas. Karena kami juga baru mulai membangun fasilitas pedestrian skala besar seperti ini,” katanya.
Walau menghadapi berbagai tantangan, PUPR menilai bahwa pembangunan pedestrian di Kota Serang terus bergerak ke arah yang lebih inklusif melalui penerapan standar aksesibilitas dan pembangunan bertahap pada ruas-ruas prioritas. Mereka juga menyatakan bahwa keterlibatan masyarakat, termasuk komunitas disabilitas, sangat diperlukan. “Kami sangat terbuka untuk masukan, karena pengguna di lapangan yang paling memahami kebutuhannya,” pungkasnya.
Reporter: Enjat



