Raden Mas Soewardi Soeryaningrat atau yang akrab dikenal dengan Ki Hajar Dewantara adalah sosok pahlawan pendidikan yang disebut sebagai Bapak Pendidikan Nasional Indonesia. Hari Pendidikan Nasioanal diperingati setiap Tanggal 02 Mei yang bersamaan dengan hari kelahiran Pahlawan Pendidikan Ki Hajar Dewantara. Beliau merupakan putra dari GPH Soerjaningrat dan cucu dari Pakualaman III, Ki Hajar Dewantara dibesarkan di lingkungan Keraton Yogyakarta.
Tak banyak orang yang tau, jika Ki Hajar Dewantara memulai pergerakannya menjadi seorang Jurnalis. Meski bersekolah di STOVIA (Sekolah Kedokteran Bumiputera), pahlawan nasional ini lebih memilih untuk menjadi wartawan. Beliau menggeluti profesi di dunia jurnalisme yang gaya tulisannya dikenal tajam dengan semangat anti kolonial, patriotik dan komunikatif.
Nama-nama surat kabar dan majalah yang menjadi tempat berkaryanya yaitu Sediotomo, Milden Java, De Expres, Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda, Tjahaja Timoer, dan Poesara. Yang dijadikan sebagai tempat untuk melontarkan kritik sosial-sosial kaum bumiputra kepada penjajah. Jiwanya sebagai pendidik tertanam dalam sanubarinya, direalisasikan dengan mendirikan Perguruan Taman Siswa (1922) guna mendidik masyarakat bumiputra, beliau juga aktif berorganisasi, salah satu organisasi yang diikutinya adalah Boedi Oetomo.
Dalam masa perjalanannya saat menjadi jurnalis ia mampu membangun peradaban melalui pemberitaan. Sebagai jurnalis beliau tidak hanya mencari berita dan menyebarluaskannya, tetapi informasi yang ditulis berisikan pemikiran yang membangun dan menggerakkan masyarakat Indonesia dalam menolak sistem pendidikan kolonial yang mendiskriminasi. Selain itu, beliau dikenal dengan karyanya yang berilmu, berhati nurani, dan menggerakkan manusia pada pemikiran yang baik, dan pemikiran yang mengembangkan kemanusiaan.
Dalam buku karya Suharto Wiryopranoto yang berjudul “Ki Hajar Dewantara: Pemikiran dan Perjuangannya” puncak karir Ki Hajar Dewantara sebagai wartawan pejuang ialah tatkala beliau menulis “Als iks eens Nederlander was” Risalah yang diterbitkan pada 1913 itu merupakan risalah yang terkenal, karena berisi sindiran yang tajam sekali bagi pemerintah Hindia Belanda. Risalah yang dicetak 5.000 eksemplar itu memprotes kebijakan Pemerintah Kolonial Hindia Belanda yang akan merayakan kemerdekaan negeri Belanda dari penjajahan Perancis. Pada tanggal 18 Mei 1959 Ki Hajar Dewantara diangkat sebagai Anggota Kehormatan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI Pusat) secara Poshum, atas jasanya dibidang jurnalistik.
Pada tanggal 25 Desember 1912, atas prakarsa Douwes Dekker, Ki Hajar Dewantara, dan Tjipto Mangungkusumo mendirikan partai politik yang diberi nama Indische Partij, ketiganya dikenal sebagai Tiga Seragkai. Dikutip dari buku “Ki Hajar Dewantara dan Taman Siswa dalam Sejarah Indonesia Modern (1986)” karya Abdurrachman Surjomihardjo, Tiga Serangkai diasingkan ke Belanda sejak 1913 karena tulisannya yang dianggap menghina pemerintah.
Akibat gerakan yang dilakukan terus-menerus oleh Ki Hajar Dewantara dalam tulisannya, pemerintah kolonial mengecam tindakan beliau. Ia diasingkan bersama dua temannya yaitu Ernest Douwes Dekker dan Tjipto Mangoenkoesoemo ke Negeri Belanda. Sekembalinya dari pengasingan, Ki hajar Dewantara mendirikan sebuah perguruan bercorak Nasional yakni National Onderwijs Institut Taman Siswa. Bahkan saat hukuman pengasingannya telah selesai pada tahun 1917, ia tetap tinggal dan mendirikan kantor berita bernama Indonesische Pers Bureau, tujuannya agar bisa membuat propaganda pergerakan Kemerdekaan di Indonesia, dan juga digunakan sebagai markas pemuda Indonesia yang sedang bersekolah di Belanda. Tahun 1919 Ki Hajar Dewantara kembali ke Indonesia, lalu beliau mendirikan National Indische Partij (NIP), yang merupakan organisasi yang dibentuk untuk menggantikan Indische Partij yang dibubarkan oleh pemerintah kolonial belanda.
Ketika Ki Hajar Dewantara dibuang ke negeri Belanda maupun dipenjara di Semarang dan Pekalongan, beliau adalah wartawan pejuang dan politisi yang berwatak pemberani. Sebagai wartawan beliau bukan saja pandai dan mahir menggerakkan pena, tetapi beliau telah memanfaatkan secara optimal media pers sebagai alat perjuangan untuk membentuk opini publik guna melawan Pemerintah Kolonial Belanda. Kemudian Ki Hajar Dewantara karena jasanya dibidang Jurnalistik, oleh Persatuan Wartawan Indonesia (PWI Pusat) diangkat secara “Amerta” sebagai Anggota Kehormatan PWI dan dianugerahi gelar Perintis Pers Nasional oleh Dewan Pers.
Penulis: Salma Chania
Editor: Dewi