Kisah Naas Pejuang Beasiswa

0
52 views

Jono, seorang remaja dari desa kecil, baru saja lulus SMA dengan nilai yang cukup baik. Meski hidup dalam keterbatasan, ia memiliki mimpi besar untuk melanjutkan kuliah di universitas negeri. Sejak kecil, Jono selalu berjuang keras membantu orang tuanya yang bekerja sebagai petani. Ia tahu betul bahwa pendidikan adalah jalan keluar untuk mengubah nasib keluarganya yang terjebak dalam kemiskinan.

Ketika pengumuman hasil Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN) tiba, hati Jono berdebar. Di tengah kecemasan dan doa yang tak henti-hentinya ia panjatkan, akhirnya namanya muncul sebagai salah satu yang diterima di universitas ternama. Jurusan yang ia impikan sejak lama kini terbuka lebar di hadapannya. Kebahagiaan bercampur haru melingkupi keluarganya yang sederhana. Mereka merayakannya dengan sederhana, namun penuh makna.

Namun, tak lama setelah itu, kenyataan mulai menamparnya. Saat proses registrasi mahasiswa baru dimulai, Jono mendapatkan informasi tentang Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang harus dibayarkan, dengan angka yang cukup besar bagi keluarga Jono tidaklah mudah, bahkan sulit untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Kekhawatiran mulai merayap dalam benaknya. Bagaimana ia bisa membayar UKT ini, apalagi jika harus membayar setiap semester?

Di tengah kebingungan itu, Jono mendengar kabar tentang Beasiswa Kurang Mampu yang bisa membebaskannya dari pembayaran UKT. Beasiswa ini dirancang untuk membantu siswa yang berasal dari keluarga kurang mampu agar bisa melanjutkan pendidikan tinggi tanpa harus khawatir dengan biaya kuliah. Dengan harapan yang membuncah, Jono segera mengumpulkan berkas-berkas yang diperlukan untuk mendaftar beasiswa tersebut.

Namun, harapan Jono kembali terguncang saat ia mendatangi bagian administrasi kampus untuk menanyakan prosedur pendaftaran. “Untuk bisa mendaftar Beasiswa Kurang Mampu, kamu harus sudah menyelesaikan pembayaran UKT semester pertama dulu,” jelas seorang petugas dengan nada biasa, seakan persyaratan itu hal yang wajar. Jono terdiam, perasaannya bercampur antara kebingungan dan kepedihan. Ia tak mengerti, bagaimana mungkin ia bisa membayar UKT jika seharusnya beasiswa inilah yang akan membantunya?

Berhari-hari Jono memikirkan hal ini, mencoba mencari solusi. Ia bekerja serabutan, meminjam dari tetangga, bahkan menjual beberapa barang berharga milik keluarganya. Namun, semua usaha itu masih jauh dari cukup untuk memenuhi syarat pembayaran UKT. Keluarganya juga tak mampu berbuat banyak, mereka hanya bisa memberinya semangat meski dalam hati, mereka pun merasakan kepedihan yang sama.

Waktu terus berlalu, dan tenggat pembayaran UKT semakin dekat. Jono merasakan tekanan yang luar biasa. Setiap hari ia bertanya-tanya, apakah impiannya untuk melanjutkan kuliah harus terhenti di sini? Di tengah keputusasaannya, Jono tetap berusaha mencari bantuan. Ia menghubungi organisasi mahasiswa, berharap ada yang bisa memberinya solusi. Namun, jawaban yang ia dapat selalu sama: “Kami turut prihatin, tapi tidak ada yang bisa kami lakukan jika UKT semester pertama belum dibayar”.

Akhirnya, di hari terakhir sebelum batas pembayaran UKT, Jono harus membuat keputusan yang paling menyakitkan dalam hidupnya. Dengan hati yang berat, ia memutuskan untuk mundur dari kesempatan kuliah yang telah diimpikannya. Ia sadar bahwa tanpa uang untuk membayar UKT, impian itu hanya akan menjadi beban yang menghancurkan dirinya dan keluarganya.

Jono pulang ke desanya dengan langkah gontai. Masa depan yang dulu tampak cerah kini kembali kabur. Namun, dalam kepedihan itu, ia bertekad untuk tidak menyerah. Meskipun gagal masuk perguruan tinggi, ia akan terus mencari cara lain untuk membangun masa depannya, entah dengan bekerja atau mencari peluang pendidikan yang lain. Jono tahu, jalan hidupnya tidak akan mudah, tapi ia percaya bahwa dengan tekad dan usaha, ia akan menemukan jalan keluar dari kemiskinan yang membelenggunya.

Penulis: Najib
Editor: Nazna