Mendorong Ruang Aman bagi Minoritas, AJI Banten Soroti Kebebasan Beragama dan Peran Media

0
15 views

Serang, lpmsigma.com– Menguatnya kecenderungan otoritarianisme dan penyempitan ruang kebebasan sipil di Indonesia menjadi sorotan dalam diskusi publik yang digelar Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Biro Banten di Maja, Kabupaten Lebak. Forum tersebut membahas isu kebebasan beragama, keberagaman, serta menegaskan kembali peran media dalam memperjuangkan hak-hak kelompok minoritas.

Salah satu pembicara, Tontawi Anwari dari Serikat Jurnalisme untuk Keberagaman, menyebut bahwa demokrasi di Indonesia bergeser menjadi bentuk otokrasi demokratis, sistem yang masih mempertahankan prosedur elektoral namun kehilangan substansi partisipasi publik.

“Indonesia dianggap sudah tidak demokratis lagi. Demokrasi yang otokratik kehilangan sifat partisipatif dan tidak lagi membebaskan masyarakat menyuarakan haknya,” kata Tontawi dalam forum tersebut, pada Sabtu (29/11/25).

Tontawi menyoroti semakin terbatasnya ruang kelompok rentan dalam mengakses hak-hak sipil, termasuk kebebasan beragama. Karena itu, ia mendorong kolaborasi strategis antara media, komunitas, platform digital, dan pemerintah untuk membuka ruang keberagaman.

“Tantangannya adalah bagaimana membangun kolaborasi yang efektif agar kelompok marginal dapat memperoleh ruang, hak, dan kebebasan, termasuk dalam beribadah,” ujarnya.

Perspektif lain disampaikan Sukowati Utami dari Green Fight Indonesia. Ia mengajak peserta melihat isu keberagaman melalui keterhubungannya dengan krisis ekologis.

“Semua agama memiliki ajaran untuk merawat bumi. Keberagaman tidak hanya relasi manusia dengan Tuhan, tapi juga dengan alam semesta,” ujar Sukowati.

Sementara itu, Salsabila Putri Pertiwi, Wakil Pemimpin Redaksi Konde, menegaskan pentingnya representasi yang adil bagi kelompok yang selama ini kurang terdengar dalam pemberitaan arus utama.

“Media harus memberi ruang bukan hanya untuk agama mayoritas, tetapi juga bagi kepercayaan lain, perempuan, dan identitas minoritas yang sering dipinggirkan,” kata Salsabila.

Salsabila menilai, media dapat menjadi instrumen penting untuk memberikan jalan bagi mereka yang tidak pernah didengarkan.

“Pentingnya media membuka jalan bagi mereka yang biasanya tidak pernah didengarkan untuk bercerita, akhirnya kita bisa tau tekanan ini sangat kompleks terhadap komunitas apalagi dalam prespektif gender,” tambahnya.

Di bagian akhir diskusi, Andreas Harsono, salah seorang pendiri AJI, mengatakan bahwa seorang wartawan harus independen dari sumber-sumber mereka.

“Kita boleh simpati dengan mereka yang tertindas, tapi jangan lupa, ada orang dari golongan tertindas yang melakukan kejahatan,” ujarnya.

Lebih lanjut, Andreas menekankan bahwa, wartawan harus bisa membedakan mana ideologi dan agama serta kekerasan yang dilakukan atas nama ideologi atau agama.

“Ideologi atau agama apapun bisa dipakai untuk kekerasan. Dari Zionisme sampai komunisme, dari Pancasila sampai Hindu, Buddha, Kristen, Islam, dan sebagainya, bisa dipakai buat membenarkan kekerasan. Bedakan mana ideologi, mana agama, dan mana kekerasan,” katanya.

Andreas juga mengingatkan bahwa di Indonesia, orang sering diajak mengecam apa yang disebut komunisme tanpa sadar bahwa beberapa negara sahabat Indonesia adalah negara yang resminya berlandaskan komunisme, misalnya, Rusia, Tiongkok dan Vietnam.

“Kekerasan dan diskriminasi sering dilakukan atas nama ideologi atau agama,” tambahnya.

Diskusi tersebut menjadi ruang refleksi mengenai bagaimana media, aktivis, dan komunitas sipil dapat merespons menguatnya konservatisme politik dan agama di Indonesia. Di tengah kemunduran demokrasi, media kembali dituntut menjalankan fungsi konstitusional sebagai penjaga ruang publik dan pelindung suara yang paling lemah.

Penulis: Hida
Editor: Naila