BerandaNarasi Kritis"Ndasmu": Ketika Bahasa Rakyat Lebih Jujur daripada Penguasa

“Ndasmu”: Ketika Bahasa Rakyat Lebih Jujur daripada Penguasa

Bahasa berkembang mengikuti zaman, tapi ada beberapa kata yang tetap abadi karena relevansinya yang tak lekang oleh waktu. Salah satunya adalah “ndasmu”. Kata ini berasal dari bahasa Jawa, terdiri dari ndas (kepala) dan -mu (kepunyaan), yang jika diterjemahkan secara harfiah berarti “kepalamu”. Namun, sebagaimana bahasa rakyat yang penuh lapisan makna, ndasmu bukan sekadar penyebutan organ tubuh. Kata ini telah berevolusi menjadi ungkapan sindiran, ketidakpercayaan, bahkan perlawanan terhadap sesuatu yang dianggap tidak masuk akal.

Dulu, kata “ndasmu” sering digunakan dalam percakapan sehari-hari untuk membalas omongan yang dianggap ngawur. Misalnya, jika ada seseorang yang bercerita terlalu berlebihan atau omong kosong, maka balasan paling sederhana adalah satu kata ini “ndasmu”. Artinya jelas jangan bercanda, omonganmu tidak masuk akal. Ini adalah bahasa rakyat, bahasa yang jujur, tanpa basa-basi, dan tanpa pencitraan.

Lalu, bagaimana jika kata “ndasmu” diucapkan oleh mereka yang berkuasa? Di sinilah ironi terjadi. Kata yang seharusnya muncul dari rakyat untuk membantah kebohongan justru keluar dari mulut mereka yang seharusnya memberi kejelasan. Seakan-akan, ketika kehabisan argumen yang meyakinkan, jawaban terbaik yang bisa diberikan adalah sapaan ala warung kopi. Ini bukan sekadar pelepasan emosi, tapi juga bentuk penghinaan terhadap intelektualitas publik. Ketika rakyat menuntut kejelasan, lalu dijawab dengan “ndasmu”, artinya ada yang salah dalam cara mereka yang berkuasa memandang rakyat.

Sejarah mencatat bahwa bahasa rakyat sering kali menjadi alat perlawanan. Di masa kolonial, ejekan terhadap penjajah muncul dalam bentuk istilah-istilah satir yang menggambarkan penindasan. Kini, dalam sistem yang katanya demokratis, rakyat masih menggunakan bahasa sebagai senjata terakhir. Bedanya, dulu bahasa ini diarahkan kepada penjajah, sekarang, sindiran itu diarahkan kepada mereka yang berdiri di atas podium, mengumbar janji, lalu memberikan jawaban yang lebih cocok untuk debat receh di pinggir jalan.

Tapi, rakyat tidak bodoh. Mereka tahu bahwa bahasa bisa menjadi alat yang ampuh untuk melawan absurditas. “Ndasmu” bukan sekadar kata, tapi juga simbol ketidakpercayaan. Ia akan terus diucapkan selama kebijakan dibuat tanpa logika, janji diberikan tanpa realisasi, dan kebohongan disebarkan tanpa rasa malu. Semakin sering kata ini muncul di ruang publik, semakin jelas bahwa ada sesuatu yang tidak beres dengan cara mereka berkomunikasi.

Jadi, kalau ada yang tersinggung dengan kata “ndasmu”, mungkin bukan kata itu yang jadi masalah, melainkan mengapa kata itu muncul dari rakyat. Karena pada akhirnya, bahasa selalu jujur. Tidak seperti pidato panjang yang berusaha menutupi kenyataan.

Penulis: Enjat

- Advertisment -

BACA JUGA