Rencana revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) bukan sekadar perubahan administratif, melainkan alarm keras bagi demokrasi di Indonesia. Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin mengusulkan untuk menambah jumlah kementerian dan lembaga yang bisa ditempati prajurit TNI aktif dari 10 menjadi 15. Ini bukan sekadar angka ini adalah perluasan kekuasaan militer yang semakin agresif menancapkan pengaruhnya di ranah sipil.
Kita tidak sedang berbicara tentang sekadar penyesuaian aturan, tetapi tentang kemunduran demokrasi yang mengingatkan kita pada era Orde Baru. Dengan bertambahnya pos baru seperti BNPB, BNPT, Keamanan Laut, Kejaksaan Agung, dan Kementerian Kelautan dan Perikanan, semakin jelas bahwa TNI tidak puas hanya berada dalam ranah pertahanan. Mereka ingin kembali mengendalikan pemerintahan sipil, sesuatu yang dulu menjadi ciri khas rezim otoriter Soeharto.
Sejarah Kelam Keterlibatan Militer di Pemerintahan
Mari kita mundur ke masa lalu. Pada era Orde Baru, konsep Dwifungsi ABRI menjadi tameng utama militer untuk masuk ke dalam pemerintahan sipil. Militer bukan hanya bertugas menjaga keamanan negara, tetapi juga diberikan peran aktif dalam politik, ekonomi, dan pemerintahan daerah.
Hasilnya? Militer menjadi alat utama penindasan terhadap rakyat. Dengan dalih stabilitas nasional, mereka mengontrol pemilihan umum, menekan kebebasan sipil, dan membungkam kritik terhadap pemerintah. Contohnya, pada Pemilu 1971, Kopkamtib (Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban) dikerahkan untuk memastikan kemenangan Golkar. Mereka menyaring dan mendiskualifikasi sekitar 20% calon legislatif dengan alasan politik, memastikan hanya orang-orang yang “sejalan” dengan pemerintah yang bisa ikut serta dalam pemilu.
Tak hanya itu, militer juga mendominasi pemerintahan daerah. Pada 1969, sekitar 70% gubernur provinsi dan lebih dari setengah bupati berasal dari kalangan perwira militer aktif (Sumber). Dengan kata lain, sipil hanya menjadi pelengkap dalam sistem pemerintahan yang didominasi oleh militer.
Mengapa Revisi UU TNI Berbahaya?
Dengan semua fakta sejarah ini, bagaimana mungkin kita bisa percaya bahwa revisi UU TNI ini tidak memiliki agenda tersembunyi? Penempatan TNI aktif dalam jabatan sipil bukan hanya sekadar “efisiensi birokrasi” seperti yang mereka gembar-gemborkan, melainkan strategi untuk mengembalikan dominasi militer dalam pemerintahan.
Coba pikirkan, mengapa Kejaksaan Agung tiba-tiba menjadi salah satu lembaga yang bisa ditempati oleh TNI aktif? Bukankah ini membahayakan independensi hukum? Apa jadinya jika aparat penegak hukum memiliki loyalitas ganda kepada negara atau kepada militer? Ini adalah potensi ancaman besar bagi keadilan hukum di Indonesia.
Kemudian, penempatan TNI di BNPB dan BNPT, dua lembaga yang memiliki peran krusial dalam menangani bencana dan terorisme. Apa artinya ini? Militerisasi penanganan bencana dan keamanan dalam negeri. Jangan kaget jika ke depannya, setiap bencana akan dikelola dengan pendekatan militeristik alih-alih pendekatan sipil yang lebih humanis dan berbasis komunitas.
Belum lagi Kementerian Kelautan dan Perikanan. Apa urusan TNI dalam kebijakan perikanan? Apakah ke depan kita akan melihat militer ikut campur dalam pengelolaan sumber daya laut, yang berpotensi membuka jalan bagi kepentingan bisnis dan oligarki di dalam tubuh TNI?
Jangan Biarkan Sejarah Berulang!
Revisi UU TNI ini bukan sekadar perubahan teknis. Ini adalah upaya sistematis untuk mengembalikan dominasi militer dalam pemerintahan. Sejarah telah membuktikan bahwa keterlibatan militer dalam pemerintahan sipil selalu berujung pada otoritarianisme, pengekangan kebebasan, dan penyalahgunaan kekuasaan.
Jika kita membiarkan ini terjadi, jangan heran jika dalam beberapa tahun ke depan, kita kembali melihat perwira-perwira TNI duduk di kursi eksekutif, legislatif, hingga yudikatif, mengulang skenario Orde Baru yang selama ini kita tolak.
Jangan biarkan sejarah berulang. Jangan biarkan demokrasi kembali dikendalikan oleh seragam loreng. RUU TNI harus ditolak.
Penulis: Najib