Wisuda sering dianggap sebagai momen puncak dalam perjalanan pendidikan. Namun, belakangan ini, tradisi wisuda di jenjang TK hingga SMA menuai kontroversi. Tradisi ini telah menjadi rutinitas tahunan yang dinanti-nanti oleh banyak orang tua dan siswa. Namun, apakah praktik ini masih relevan atau menjadi beban baru dalam dunia pendidikan kita? Bukankah makna wisuda seharusnya dikembalikan ke esensi aslinya, yaitu sebagai selebrasi pada jenjang perguruan tinggi?
Wisuda dari jenjang TK hingga SMA seharusnya tidak perlu dilaksanakan. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) melalui Surat Edaran Nomor 14 Tahun 2023 menegaskan bahwa wisuda di tingkat PAUD hingga SMA tidak bersifat wajib dan tidak boleh memberatkan orang tua atau wali murid.
Salah satu isu utama dalam pelaksanaan wisuda adalah beban biaya yang harus ditanggung orang tua. Acara ini sering kali melibatkan pengeluaran tambahan, seperti untuk pakaian khusus, selempang, dan dokumentasi. Bagi keluarga yang kurang mampu, hal ini tentu menjadi beban ekonomi yang tidak ringan.
Selain itu, selempang wisuda kini juga menjadi sorotan. Awalnya hanya sebagai pelengkap foto kelulusan, kini selempang berubah menjadi bagian wajib dari paket wisuda. Banyak sekolah bahkan menjualnya melalui kerja sama dengan vendor. Fenomena ini membuka ruang bagi komersialisasi dalam dunia pendidikan, di mana simbol prestasi tidak lagi diperoleh karena pencapaian, melainkan karena “dibeli”.
Surat edaran Kemendikbudristek menyoroti secara tegas bahwa wisuda sekolah bukan merupakan kewajiban. Artinya, sekolah tidak diwajibkan menyelenggarakan acara wisuda, dan orang tua atau wali murid tidak diwajibkan untuk mengikutinya. Wisuda juga tidak boleh menjadi beban, baik secara ekonomi maupun emosional. Oleh karena itu, sekolah perlu mempertimbangkan aspek biaya, waktu, dan tenaga sebelum memutuskan untuk mengadakan acara seremonial seperti ini.
Tradisi wisuda di jenjang TK hingga SMA memang perlu dievaluasi kembali. Jika pelaksanaannya hanya menjadi formalitas tanpa makna, sebaiknya kegiatan tersebut tidak dilanjutkan. Fokus utama pendidikan seharusnya terletak pada peningkatan kualitas pembelajaran dan pengembangan karakter peserta didik, bukan pada seremoni yang berpotensi membebani.
Dengan demikian, apakah wisuda sekolah benar-benar diperlukan, tidak cukupkah dengan rapor kelulusan dan perpisahan sederhana atau justru merupakan tradisi yang harus disesuaikan kembali dengan konteks dan kebutuhan zaman?
Penulis: Ayunda
Editor: Lydia