Tot Tot Wut Wut! Sirene Bodong, Jalanan Jadi Milik si Paling Penting

0
15 views

Kemacetan adalah pemandangan sehari-hari di jalanan kota besar. Ribuan pengendara rela menunggu berjam-jam di bawah teriknya matahari atau hujan deras, antre dengan sabar menunggu giliran. Namun, kesabaran itu sering kali diuji oleh mobil pribadi, yang tiba-tiba melintas dengan lampu strobo menyala dan sirene meraung. Jalan mendadak terbuka lebar, sementara pengendara lain hanya bisa gigit jari, melihat mereka bebas menyalip kanan-kiri.

Ironinya, kendaraan itu bukan ambulans yang membawa pasien gawat, bukan pula mobil pemadam kebakaran atau patroli polisi. Tak jarang, mobil itu hanyalah kendaraan pribadi dengan akses patwal, sering kali berlindung di balik status keluarga pejabat atau orang berpengaruh.

Padahal regulasi sudah sangat jelas. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan mengatur ketentuan penggunaan lampu isyarat dan sirene:

* Biru dengan sirene: untuk kepolisian.
* Merah dengan sirene: untuk ambulans, pemadam kebakaran, TNI pengawal, tim penyelamat, dan mobil jenazah.
* Kuning tanpa sirene: untuk kendaraan derek, patroli jalan tol, atau kendaraan yang sedang dalam keadaan darurat.

Selain kategori tersebut, penggunaan strobo dan sirene dilarang keras. Pelanggaran bahkan bisa dikenai sanksi denda hingga Rp250 ribu atau kurungan satu bulan.

Namun praktik di lapangan menunjukkan hal berbeda. Lampu strobo dan sirene kerap berubah fungsi menjadi simbol privilege. Mobil pribadi dengan pengawalan patwal sering kali lolos tanpa hambatan, bukan karena urgensi, melainkan karena status sosial atau kedekatan dengan lingkaran kekuasaan.

Akibatnya, makna sirene sebagai tanda darurat perlahan luntur. Dari penanda situasi genting, kini bergeser menjadi akses jalan eksklusif. Publik pun kehilangan kepercayaan serta sulit membedakan mana kendaraan darurat sungguhan dan mana sekadar gaya-gayaan.

Fenomena ini memperlihatkan lebih dari sekadar pelanggaran lalu lintas. Ia mencerminkan budaya berkendara yang egois, lemahnya penegakan hukum, dan mentalitas “siapa yang berkuasa, dia yang berhak didahulukan.” Bila dibiarkan, jalan raya akan terus menjadi panggung pertunjukan privilege, sementara aturan hukum sekadar menjadi hiasan.

Pertanyaannya, sampai kapan sirene kita biarkan teredukasi menjadi alat pamer kekuasaan, bukan lagi tanda darurat yang seharusnya menyelamatkan nyawa?

Penulis: Ikhda Nisrina 
Editor: Naila