Cahaya Ilahi di Bawah Kegelapan

0
83 views

Sore itu, saat langit menampakkan senjanya pada pukul 6 sore. Aku terdiam, duduk di sudut kota melihat mereka lalu lalang melintasi tubuh mungilku. Dengan setiap langkah yang melintas, aku merenung tentang hidup ini. Aku merasa kecil juga sedikit terabaikan. Aku merasa hidupku hampa tanpa bumbu kehidupan.

Sudah satu jam aku menunggu Yuna datang. Teman dekatku. Kami hendak pergi ke sebuah pameran, namun nampaknya dia ada kendala sehingga membuatku menunggu lebih lama.

Di sela-sela kesepian dalam kesendirianku, seakan ada keindahan yang tak terduga, yang membuatku tak ingin beranjak dari tempat itu. Aku tenggelam dalam alunan suara merdu yang membius jiwaku. Suara itu melambung indah di udara senja, membelai hatiku dengan kelembutan yang kian meraba. Dengan syair yang seolah mengajakku untuk menemui-Nya.

Meskipun aku duduk di sudut kota, yang ramainya tak dapat ku kendalikan. Rasanya seolah-olah aku berada di sebuah oasis ketenangan, terlindung dari hiruk pikuk dunia. Aku menggenggam erat keindahan itu. Di sana. Di bawah cahaya senja yang memudar, aku merasa terpanggil.

Kudekati arah syair itu berirama. Kuhampiri tempat itu. Gedung tua berupa masjid. Langkahku terhenti mendengar seseorang dengan lantang menyebut namaku.

“KYLAAA!!!” Sahut itu berasal dari suara seorang perempuan.

Aku lantas menoleh. Kulihat Yuna sedang berdiri di bibir jalan. Melambai seolah agar aku mengenalinya. Aku memang duduk sendiri, menanti dia yang lama sekali datang.

“Kamu ngapain?” Tanya Yuna yang menatap ku dengan tatapan kebingungan.

“Kamu mendengar suara itu?” Aku justru membalikkan pertanyaan padanya.

“Suara apa?”

“Suara lembut yang mengudara di telingaku. Yuna, sudah lama aku tidak mendengarnya”

Yuna tersenyum, “Memangnya ada apa dengan telingamu? Suara itu selalu ada di setiap waktunya.”

Aku menunduk, kiat berjalan perlahan menuju pameran seni yang terletak di dekat masjid tempat kami berada. Kenapa aku tidak bisa mendengarnya selama ini? Mungkinkah hatiku telah mati? Atau memang dunia terlalu berisik sampai suara itu tak terdengar di telingaku.

Aku melihat seorang mahasiswi sedang menyebar selebaran poster di dekat pameran. Tanpa ragu, dia menghampiri kami.

“Kajian muslimah kak, jangan lupa hadir!” Ujarnya.

Dengan semangat aku mengajak Yuna untuk pergi ke kajian tersebut.

“Ayok Yuna!!”

“Tidak, Kyla. Aku tidak tertarik,” jawab Yuna dengan tegas. “Agama tidak bisa meyakinkanku.”

Yuna menolak. Dan keputusan itu telah aku prediksi sebelum ku tawarkan untuk mengajak Yuna. Aku tak bisa memaksanya untuk ikut hadir. Karena setiap manusia punya pilihan masing-masing. Dan itu hak mereka.

Meskipun demikian, aku tetap memutuskan untuk pergi sendiri ke kajian tersebut keesokkannya. Dengan hati yang meragu, aku datang dengan rasa canggung sekaligus malu. Bukan hanya pada manusia yang ada disana, melainkan juga pada Tuhanku. Bahkan rambutku tergerai begitu saja di bawah selendang yang aku kenakan. Aku tak punya stok hijab!

Aku masuk, dengan ragu. Di sana penuh sekali dengan wanita-wanita yang sedang duduk secara khidmat. Canggung dan keraguan semakin terasa ketika aku menyadari, bahwa hanya aku satu-satunya yang datang sendiri tanpa teman.

Aku mencari tempat duduk yang agak terpencil, berharap bisa menyembunyikan perasaan canggungku. Namun, mata ini terus memandang ke sekeliling, mencari keberadaan Yuna yang selalu menjadi pendamping setiaku dalam segala hal. Meskipun mustahil kehadirannya ada.

Aku merasa seolah-olah tenggelam dalam ketenangan. Suara langkah kaki orang-orang yang memasuki ruangan bergantian dengan lantunan ayat suci Al-Quran yang mengalun merdu dari pengeras suara. Hatiku berdebar kencang, tidak hanya karena ketidakpastian akan apa yang akan aku temui, tetapi juga karena rasa penasaran yang semakin menggebu-gebu.

Ketika kajian itu akan dimulai, seorang ustadzah yang berwibawa naik ke atas mimbar. Beliau membahas tentang keimanan, katanya, “Keimanan selalu membawa perbaikan derajat kita sebagai seorang wanita, kiprah kita adalah menjadi muslimah yang shalihah”.

Hatiku berdesir, seolah-olah ustadzah sedang berbicara langsung ke dalam hatiku. Aku terdiam, membiarkan setiap kata meresap dalam pikiran. Getaran energi dari kata-kata ustadzah yang begitu kuat nan meyentuh.

Saat itu, di tengah gemuruh hati yang kacau, aku merasa seolah menemukan pijakan baru. Pijakan yang membawaku pada suatu pemahaman yang lebih dalam tentang diriku, tentang hidup, dan tentang makna keimanan. Semua keraguan dan kecemasan lambat laun memudar oleh kehangatan yang hadir di tempat itu.

Lantas, aku memutuskan untuk memulai perjalanan baru sebagai seorang wanita shalihah. Dengan mengenakan hijab sebagai langkah pertamaku, aku merasa lebih lega karena hatiku telah menemukan kejelasan. Perjalananku sebagai seorang muslimah shalihah baru saja dimulai.

Aku menarik nafas dengan berat!

Yah, aku berhasil menguatkan tekadku untuk terus berjalan di jalan yang ku pilih. Aku tahu bahwa perjalanan ini tidak akan mudah, namun aku yakin bahwa dengan kekuatan iman dan keteguhan hati yang kumiliki, aku akan mampu melewati setiap ujian yang Tuhan beri. Meski di tengah-tengah kegelapan sekalipun.

Inilah aku, aku yang berhasil menemukan cahaya di bawah kegelapan dalam bentuk keimananku. Kau tau? Aku tidak lagi merasa sendirian ataupun kesepian, karena kini aku memiliki pondasi yang kokoh.

Penulis: Lydia
Editor: Nazna