Tak Ada Malam Kudus di Cilegon

0
425 views
Ruangan ibadah di lantai dua Gereja HKBP. Foto diambil pada 17 Maret 2024.

Penulis: Nabila Alsabila dari LPM SiGMA UIN Banten

Umat Kristiani di Cilegon Harus Menempuh Perjalanan Berkilo-kilo Meter untuk Beribadah di Gereja Kota Serang. Pemerintah Kota Cilegon Tunduk pada Tekanan Kelompok Penolak Pendirian Gereja.

Dalam guyuran hujan pagi, puluhan jemaat Gereja Huria Kristen Batak Protestan Kota Serang, Provinsi Banten khusyuk menunaikan ibadah Minggu. Remaja hingga orang-orang sepuh memenuhi bangku. Hawa panas menyergap. Hanya kipas angin yang meredakan pengap. Pendeta Gereja HKBP Kota Serang, Erwin memimpin ibadah itu.

Gereja yang berhadapan dengan Alun-alun Kota Serang dan berdekatan dengan pusat perbelanjaan itu terletak di Jalan Veteran Kotabaru. Rumah ibadah yang beroperasi sejak 1965 ini menampung jemaat melebihi kapasitas. Selain jemaat dari Serang, gereja seluas 1.300 meter persegi ini harus memfasilitasi lebih dari 2.800 jemaat dari sejumlah daerah seperti Cilegon, Cikande, dan Pandeglang setiap pekan. Kini jumlahnya makin banyak karena pemuda yang merantau di sekitar gereja.

Erwin (Pendeta sekaligus Pimpinan Gereja HKBP Kota Serang). Foto diambil pada 17 Maret 2024.

Mereka beribadah secara bergantian dalam 11 sesi, mulai pukul 06.00 hingga 21.00. Lahan parkir gereja yang sempit tak cukup menampung kendaraan umat. Pendeta Erwin, 56 tahun, menyebutkan jumlah jemaat yang kian bertambah membuat pengelola gereja semakin kewalahan menampung mereka.

Sulitnya izin mendirikan gereja di Banten menjadi penyebab persoalan itu. Sebanyak 900 umat Kristiani dari Kota Cilegon misalnya harus menempuh berkilo-kilo meter untuk ibadah di Gereja HKBP Kota Serang. “Umat semakin menumpuk. Doa saya, gereja roboh supaya pemerintah sadar situasi kami,” ucap Erwin ditemui di Gereja HKBP Serang, Minggu (17/03/2024).

Data Kementerian Agama pada Agustus 2022 menunjukkan jumlah masjid di Banten sebanyak 8.885, 966 gereja Kristen Protestan, 71 gereja Katolik, tujuh pura, dan 112 vihara. Erwin kecewa dengan Pemerintah Kota Cilegon yang tidak mau mengeluarkan izin pendirian Gereja HKBP Maranatha di Cikuasa, Kelurahan Gerem.

Komite Penyelamat Kearifan Lokal Kota Cilegon menolak pembangunan Gereja HKBP Maranatha. Mereka mendatangi Gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Cilegon dan bertemu dengan Wali Kota Cilegon Helldy Agustian pada 7 September 2022.

Penolakan itu berdasarkan Surat Keputusan Bupati Kepala Daerah Tingkat II Serang Nomor 189/Huk/SK/1975 tertanggal 20 maret 1975 tentang penutupan gereja atau tempat jamaah bagi agama Kristen di Kabupaten Serang (sekarang Cilegon). Wali Kota Cilegon Helldy Agustian bahkan ikut menandatangani petisi tersebut dengan alasan menjaga kondusifitas dan ketertiban masyarakat. “Penandatanganan petisi bagi saya politis. Kami tidak pernah tahu saat tanda tangan apakah hatinya bersih atau tidak. Mau sampai kapan peperangan terus, kapan Banten mau hidup rukun,” kata Erwin.

Pendeta lainnya di HKBP, Marlan, 61 tahun, juga kecewa dengan situasi itu. Selain sulitnya mendirikan gereja, umat Kristiani juga merasa tak nyaman saat peringatan hari raya, misalnya Natal dan Paskah yang banyak didatangi polisi. “Mereka seperti meragukan toleransi kami,” kata Marlan.

Salah satu jemaat HKBP Serang, Eci kerepotan saat ibadah Minggu maupun misa malam Natal maupun Paskah. Bersama keluarganya, Eci yang berasal dari Cilegon harus menempuh perjalanan berkilo-kilo meter untuk menjangkau Gereja HKBP. “Habis waktu di jalan. Kami harus bersiap mulai jam 04.00 pagi untuk ibadah Minggu pukul 08.00.

Selain Eci, ada ratusan jemaat lainnya dari Cilegon yang harus menumpang di kendaraan milik tetangga. Ada pula yang harus merogoh kocek untuk membayar ongkos transportasi menuju Serang supaya tetap bisa beribadah.

Eci kesal dengan Wali Kota Cilegon yang tunduk pada sekelompok orang yang memaksa tak boleh ada rumah ibadah selain umat Islam sebagai kalangan mayoritas di kota tersebut. Dia berharap Pemerintah Kota Cilegon mempermudah pendirian izin gereja dan taat pada konstitusi yang menjamin setiap warga negara beribadah sesuai keyakinannya.

Tanah HKBP Maranatha Cilegon. Foto diambil pada 29 Maret 2024.

Tanah calon gereja HKBP Maranatha kini hanya ditumbuhi rerumputan. Tanah seluas 3.915 meter persegi itu berada tak jauh dari permukiman penduduk.

Para Penolak Gereja HKBP Maranatha

Saimuri (Ketua RW 01 Cikuasa, Gerem. Foto diambil pada 30 Maret 2024.

Saimuri, 66, Ketua Rukun Warga 01 Cikuasa, Gerem, Kelurahan Grogol, Cilegon menyatakan penolakan pendirian Gereja HKBP Maranatha terjadi karena pengelola gereja tak memenuhi syarat pendirian rumah ibadah. Dia malah menuding pengelola gereja merayu warga agar memberikan persetujuan yakni mengumpulkan Kartu Tanda Penduduk tanpa sepengetahuan ketua RT, ketua RW, dan lurah. “Mereka belum pernah sosialisasi ke masyarakat” tutur Saimuri saat ditemui, di rumahnya pada Jum’at (29/4/2024).

Saimuri menyebutkan sesuai Surat Keputusan Bersama 2 Menteri mengenai syarat pendirian rumah Ibadah Pasal 14 Ayat 1, pendirian rumah ibadah harus memenuhi persyaratan administratif dan persyaratan teknis bangunan.

Pada ayat 2, pendirian rumah ibadah harus memenuhi persyaratan khusus yakni mengumpulkan daftar nama dan KTP paling sedikit berjumlah 90 orang yang disahkan oleh pejabat setempat sesuai dengan tingkat batas wilayahnya. Selain itu, harus mendapat dukungan dari masyarakat setempat paling sedikit berjumlah 60 orang yang disahkan oleh lurah atau Kepala Desa.

Menurut dia, pengelola gereja memaksa untuk mendirikan gereja, padahal pemerintah belum mendapatkan pengajuan izin. Dia menuduh pengelola gereja tidak mendatangi masyarakat dengan cara yang baik dan sengaja menciptakan propaganda. “Pada intinya tidak ada kebencian dan penolakan. Kalau ada pasti ada alasan yang kuat dan logis,” kata dia.

Abu Nasor (Kepala Sub Bagian Tata Usaha Kantor Kemenag Kota Cilegon. Foto diambil pada 23 April 2024. 

Kepala Sub Bagian Tata Usaha Kantor Kementerian Agama Kota Cilegon, Abu Nasor membantah tudingan Cilegon sebagai kota yang intoleran karena tak ada gereja yang berdiri. Pendirian gereja juga ditolak di Kelurahan Cikeray, Lembang, dan Kecamatan Citangkil.

Pemerintah Kota Cilegon, kata dia  sudah berupaya untuk memfasilitasi umat Kristiani saat hendak pergi beribadah, dengan menyediakan sepuluh bus yang bisa digunakan untuk ibadah di Kota Serang. Namun, tak semua umat Kristiani mau menggunakan bus itu. Kini hanya dua bus yang beroperasi.

Abu Nasor meminta pengelola gereja mematuhi aturan Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Tahun 2006, yakni aturan 90/60. “Semua ujungnya melihat pada aturan. Jika tetap ingin memaksakan membangun gereja, pindah saja ke negara-negara di Eropa. Di sana  mayoritas umat non-Islam sehingga mudah untuk mendirikan tempat ibadah,” kata dia.

Pada 7 September 2022, sekelompok orang yang menamakan Komite Penyelamat Kearifan Lokal Kota Cilegon menolak pembangunan Gereja HKBP Maranatha. Mereka membawa petisi itu ke Kantor Wali Kota Cilegon. Sekelompok orang tersebut berasal dari Kota Serang, Pandeglang, dan Cilegon.

Mereka mendesak Wali Kota Cilegon, Ketua DPRD, Wakil Wali Kota Cilegon untuk ikut meneken petisi tersebut. “Daripada terjadi hal yang tidak diinginkan, lebih baik tandatangani dan itu hanya di atas kain putih. Jika dibakar ya sudah selesai, tidak ada kekuatan hukumnya,” kata Abu.

Abu dan petugas di Kantor Wali Kota Cilegon menolak memberikan data orang-orang yang membuat petisi tersebut. Petugas kantor beralasan lemari tempat menyimpan data sudah lama tidak dipakai dan ruangan telah direnovasi.

Direktur Eksekutif Setara Institute Halili Hasan menyebutkan Cilegon menjadi kota kedua terendah dalam hal toleransi yang indikatornya adalah rumah ibadah. Surat Keputusan Bupati Kepala Daerah Tingkat II Serang Nomor 189/Huk/SK1975 menjadi dasar penolakan pendirian gereja oleh masyarakat Cilegon.

Setara menyusun riset Indeks Kota Toleran melalui empat variabel dengan delapan indikator yang merupakan elemen-elemen yang melekat di Cilegon dengan skor 4,193. Skor itu dihitung dari 30 persen regulasi di tingkat pemerintah, 30 persen regulasi sosial, 25 persen tindakan pemerintah, dan 15 persen demografi agama.  “Cilegon termasuk kota yang menolak berdirinya tempat ibadah kalangan minoritas dengan alasan faktor kesejarahan dan kearifan lokal,” kata Halili.

***

Liputan ini menjadi bagian dari program pelatihan dan hibah Story Grant “Anak Muda Ciptakan Ruang Aman Keberagaman di Media” yang dilaksanakan oleh Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK). Terlaksana atas dukungan rakyat Amerika Serikat melalui USAID. Isinya adalah tanggung jawab SEJUK dan tidak mencerminkan pandangan Internews, USAID, atau pemerintah AS.