Ketika angka kenakalan remaja meningkat dan berbagai upaya rehabilitasi dirasa kurang efektif, sebagian masyarakat mulai melirik pendekatan keras, seperti pengiriman anak ke barak militer yang baru-baru ini dicetuskan langsung oleh Gubernur Jawa Barat, Kang Dedi Mulyadi. Mengirim anak-anak yang “nakal” ke barak militer, tempat dengan kedisiplinan tinggi ini dinilai bisa membentuk ulang karakter anak, terutama dalam hal kepatuhan dan tanggung jawab. Namun, solusi ini tak lepas dari polemik yang menimbulkan pertanyaan besar, apakah program pengiriman anak-anak nakal ke militer tersebut benar-benar efektif atau justru bisa merugikan anak dalam jangka panjang?
Gagasan mengirim anak-anak bermasalah ke barak militer memunculkan dua sisi pemikiran, di satu sisi dianggap sebagai solusi cepat dan tegas terhadap perilaku menyimpang remaja, di sisi lain justru dikritik sebagai bentuk pendekatan yang tidak menjawab akar masalah. Dalam konteks pendidikan dan perkembangan psikologis anak, tindakan semacam ini dapat menciptakan trauma psikologis baru, alih-alih memberikan pemulihan karakter secara mendasar.
Menurut Elizabeth B. Hurlock dalam bukunya “Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan,” masa remaja adalah periode transisi yang sangat penting dan rawan, di mana individu mengalami perubahan fisik, psikologis, dan sosial yang cepat dan signifikan. Masa ini bukan hanya peralihan dari masa anak-anak ke masa dewasa, tetapi juga masa pencarian identitas dan pembentukan nilai-nilai baru yang memerlukan penyesuaian mental yang mendalam.
Ia juga berpendapat bahwa remaja sebenarnya hanya membutuhkan pendekatan suportif, bukan koersif atau yang memaksa. Saat remaja berperilaku menyimpang, hal itu kerap menjadi refleksi dari masalah yang lebih dalam seperti pola asuh yang keliru, tekanan lingkungan, bahkan kekosongan emosional. Jika negara hanya menanggapi dengan pendekatan militeristik yang hanya mengutamakan kedisiplinan ketat dan hukuman, maka potensi untuk menciptakan generasi yang kian teralienasi justru semakin besar.
Dikutip dari jurnal yang berjudul “Penegakkan Disiplin Positif Sebagai Upaya Menimimalisir Hukuman Fisik dan Non Fisik,” karya Ernawati dkk menilai bahwa anak-anak yang dibina melalui pendekatan empatik, konseling, dan pembelajaran keterampilan sosial justru menunjukkan perubahan perilaku yang lebih berkelanjutan dibandingkan dengan anak-anak yang hanya menerima hukuman fisik atau tekanan disiplin ekstrem.
Pendekatan empatik memungkinkan anak merasa dihargai dan dipahami, sehingga mereka lebih terbuka untuk memperbaiki perilaku dengan kesadaran moral dan logis. Konseling membantu anak mengidentifikasi akar masalah dan mengembangkan strategi pengelolaan emosi yang efektif, sementara pembelajaran keterampilan sosial mengajarkan mereka cara berinteraksi dan menyelesaikan konflik secara konstruktif.
Sebaliknya, hukuman fisik dan tekanan disiplin yang berlebihan seringkali menimbulkan rasa takut dan stres yang hanya menghasilkan perubahan perilaku sementara karena anak takut pada konsekuensi, bukan karena memahami kesalahan. Bahkan juga dapat memperburuk kondisi psikologis anak dan menghambat perkembangan emosionalnya. Barak militer mungkin menciptakan anak yang “patuh” secara temporer, namun bukan “baik” dalam konteks nilai moral internal.
Konsep “anak nakal” sendiri juga sering kali digunakan secara bias. Banyak anak yang dicap nakal sebenarnya sedang berjuang dengan masalah mental, tekanan keluarga, atau bahkan kekerasan dalam rumah tangga. Memberikan mereka “hukuman” dengan mengirim ke barak militer bisa berarti mengabaikan hak anak atas perlindungan dan pendidikan yang bermakna.
Dalam konvensi internasional, seperti Konvensi Hak Anak PBB (Convention on the Rights of the Child), penekanan juga difokuskan hanya pada upaya rehabilitasi, pendidikan, dan reintegrasi sosial, bukan hukuman. Pembentukan karakter seharusnya bisa bersumber dari proses pendekatan nilai-nilai yang ditanamkan dengan rasa kasih sayang, teladan, dan konsistensi, bukan ketakutan atau pemaksaan.
Alih-alih mengirim mereka ke barak militer, negara seharusnya memperkuat sistem dukungan psikososial di sekolah, memperbaiki akses layanan konseling anak dan remaja, serta memberdayakan keluarga dan komunitas dalam menciptakan lingkungan yang sehat bagi tumbuh kembang remaja. Mengirim anak-anak ke barak militer bukanlah jawaban atas kenakalan, melainkan cermin dari ketidakmampuan kita memahami dan merangkul luka sosial yang lebih dalam.
Jika melanggengkan paradigma bahwa anak-anak yang bermasalah hanya bisa diubah lewat ketakutan dan tekanan fisik, itu sama saja seperti mencetak generasi yang terlatih taat, namun kehilangan keberanian berpikir, empati, dan kemampuan menyelesaikan konflik secara damai.
Barak militer memang menawarkan solusi instan yang menjadikan anak-anak mungkin lebih taat, lebih teratur, lebih cepat merespons perintah. Namun apakah itu berarti mereka telah pulih secara emosional dan moral? Ataukah mereka sekadar tunduk hanya karena rasa takut saja?
Maka, yang menjadi persoalan seharusnya bukanlah “apakah anak nakal perlu dikirim ke barak militer?” melainkan “mengapa anak bisa menjadi nakal, dan solusi pendekatan seperti apa yang benar-benar menjawab kebutuhan mereka?” Tanpa menjawab pertanyaan tersebut, negara seperti memperbaiki gejalanya saja, bukan menyembuhkan penyakitnya.
Penulis: Frida
Editor: Lydia