Jumlah kasus kekerasan seksual yang menargetkan anak-anak dan remaja kini terus meningkat, hingga memunculkan kekhawatiran tentang keamanan mereka di tempat yang seharusnya aman. Fenomena ini tidak hanya tentang mengutuk pelaku tetapi juga menyoroti bagaimana masyarakat kita sering gagal mengatasi masalah yang lebih mendasar.
Sebagai orang yang pernah melewati masa rentan remaja, kita harus mulai memberikan perhatian yang lebih besar terhadap upaya mencegah generasi muda dari kejahatan seksual yang sistemik.
Salah satu contoh yang mencolok adalah kasus guru-murid di Gorontalo, di mana seorang pelajar menjadi korban child grooming oleh gurunya sendiri. Kasus ini mendapat perhatian publik karena menunjukkan bagaimana kekerasan seksual terjadi, serta bagaimana respons masyarakat dan pihak berwenang seringkali tidak memadai. Dalam proses grooming ini, pelaku memanfaatkan kerentanan psikologis korban untuk membangun kepercayaan, sebelum akhirnya mengeksploitasi mereka secara seksual.
Dikutip dari buku yang berjudul “Who are you kidding? Children, power, and the struggle against sexual abuse”Jenny Kitzinger (1990), menjelaskan bahwa grooming adalah manipulasi psikologis bertahap yang biasanya terjadi di lingkungan di mana pelaku memiliki kontrol atas korban. Proses ini sering kali difasilitasi oleh relasi kuasa, seperti antara guru dan murid atau figur otoritas lain yang dekat dengan anak-anak dan remaja.
Pada tahap awal, child grooming adalah kejahatan yang sulit diidentifikasi karena manipulasi terjadi secara perlahan dan seringkali tanpa disadari oleh korban atau orang di sekitarnya. Hal ini sangat menantang, terutama di negara-negara seperti Indonesia di mana pendidikan seksual terbuka masih dianggap tabu. Selain itu, banyak kasus tidak terungkap atau terselesaikan karena masyarakat cenderung menyalahkan korban alih-alih fokus pada pencegahan.
Robert K. Merton, dalam Teori Strain Sosial, menjelaskan bahwa tekanan sosial dapat menciptakan kondisi yang memungkinkan perilaku menyimpang seperti kekerasan seksual berkembang. Kurangnya pendidikan seksual dan minimnya kesadaran masyarakat dalam memperburuk situasi ini.
Dalam hal ini, penting untuk disadari bahwa child grooming sering kali tidak terdeteksi hingga terlambat. Penelitian End Child Prostitution, Child Pornography, and Trafficking of Children for Sexual Purposes (ECPAT) International (2018), menunjukkan bahwa anak-anak yang terisolasi secara sosial atau emosional lebih rentan menjadi target grooming. Korban sering kali tidak menyadari bahwa mereka sedang dimanipulasi, karena pelaku melakukan pendekatan secara bertahap, membuat proses ini sulit dikenali oleh orang-orang di sekitar mereka. Pendidikan seksual yang komprehensif penting untuk memberikan anak-anak dan remaja alat untuk mengenali tanda-tanda awal manipulasi.
Jean Piaget, menekankan bahwa selama masa remaja perkembangan kognitif masih berlangsung, terutama dalam kemampuan berpikir logis dan abstrak. Keterbatasan ini membuat mereka lebih rentan terhadap pengaruh dari pihak yang lebih dewasa, termasuk manipulasi oleh pelaku. Oleh karena itu, peran kita bukan hanya dari sisi moralitas saja tetapi juga dalam menciptakan lingkungan yang aman secara psikologis bagi anak-anak.
Pendidikan seksual yang menyeluruh sejak dini adalah solusi yang harus kita dorong. Menurut World Health Organization (WHO) dan riset Dr. Eva Goldfarb, pendidikan seksual yang tepat terbukti dapat mengurangi risiko kekerasan seksual dengan memberikan pemahaman yang jelas tentang hak asasi, persetujuan dan batasan pribadi. Sebagai orang dewasa, kita dapat berperan sebagai penjaga dalam menciptakan komunitas yang lebih inklusif dan suportif bagi generasi muda, bukan dengan menyalahkan korban, melainkan dengan menyediakan ruang aman untuk diskusi dan pencegahan.
Salah satu masalah besar yang kita hadapi adalah budaya victim-blaming, dimana korban kekerasan seksual sering kali disalahkan atas apa yang menimpa mereka. Elena Martellozzo menegaskan bahwa pola pikir ini berakar dari kurangnya pemahaman publik tentang sifat manipulatif dari child grooming. Teori pelekatan emosional dari John Bowlby juga menjelaskan bahwa ikatan yang dibentuk antara pelaku dan korban selama proses grooming bisa sangat kuat sehingga korban sering kali merasa sulit untuk keluar dari situasi tersebut, bahkan jika mereka sudah menyadari adanya manipulasi.
Sebagai masyarakat, sudah seharusnya kita mengubah cara dalam merespon kasus kekerasan seksual dan grooming ini. Reaksi yang berbasis empati, pendidikan yang memadai, serta pendekatan yang inklusif dalam komunitas akan membuka ruang lebih besar bagi para korban untuk pulih dan membantu mencegah kasus serupa terjadi di masa depan.
Tugas kita sebagai anggota masyarakat yang lebih dewasa tidak hanya berhenti pada tindakan moral, tetapi juga harus diiringi dengan upaya nyata untuk melindungi anak-anak dari ancaman grooming dan kekerasan seksual. Dengan memahami teori perkembangan seperti yang diungkapkan Jean Piaget, memahami proses grooming sebagaimana dijelaskan oleh Jenny Kitzinger dan menerapkan pendidikan seksual komprehensif seperti yang dianjurkan oleh WHO, kita bisa menjadi agen perubahan yang proaktif.
Oleh karena itu, kita harus dapat mengambil langkah preventif dengan lebih memperhatikan hubungan antara guru dan murid serta menerapkan kebijakan pengawasan yang lebih ketat di lingkungan pendidikan. Dengan demikian, kita bisa lebih menciptakan lingkungan yang aman dan mendukung bagi generasi muda.
Penulis: Naila
Editor: Dhuyuf