Serang, lpmsigma.com | Sidang perkara pembacaan dakwaan kepada para terdakwa sembilan orang Aktivis Mahasiswa Menolak Omnibus Law kembali digelar oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Serang pada Senin, (11/01/2021).
Agenda sidang kali ini merupakan Pembacaan Dakwaan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kepada sembilan aktivis mahasiswa yang terlibat dalam aksi demonstrasi menolak omnibuslaw, Selasa 06 Oktober 2020 yang lalu.
Jaksa mendakwa para aktivis mahasiswa dengan Pasal 218 KUHP, dengan pertimbangan bahwa para pengunjuk rasa tidak menghormati perintah penguasa yang diakui oleh undang-undang yaitu petugas kepolisian.
“Para pengunjuk rasa juga tidak membubarkan diri setelah diberi peringatan sebanyak tiga kali oleh petugas kepolisian sehingga atas dasar itu lah kepolisian membubarkan secara paksa dan menangkap 9 pengunjuk rasa untuk diperiksa lebih lanjut,” begitu keterangan JPU sebagaimana dikutip dari pembacaan dakwaannya di muka persidangan.
Setelah Pembacaan Dakwaan, Tim Advokasi Bantuan Hukum, Abda Oe Bismillahi mengatakan, penasehat hukum akan mengajukan eksepsi atau nota keberatan sesuai dengan apa yang diatur dalam ketentuan Pasal 156 ayat (1) KUHAP.
“Ada tiga hal yaitu: eksepsi atau keberatan tidak berwenang mengadili; Eksepsi atau keberatan dakwaan tidak dapat diterima dan eksepsi atau keberatan surat dakwaan harus dibatalkan atau batal demi hukum karena tidak memenuhi syarat materil sebagaimana diatur dalam Pasal 144 ayat (2) dan ayat (3) KUHAP,” ujar Abda.
Lebih lanjut, Abda mengatakan bahwa eksepsi atau keberatan adalah merupakan hak dari terdakwa atau penasehat hukumnya bukan merupakan kewajiban, oleh karena itu eksepsi atau keberatan yang diajukan oleh terdakwa atau penasehat hukum adalah wajib untuk diperhatikan dan dilaksanakan oleh hakim.
“Sebab apabila hakim tidak mengabulkan hak dari terdakwa atau penasehat hukumnya maka bisa saja terdakwa akan menerima hukuman atas perbuatan yang tidak dilakukannya,” tambah Abda.
Di lain tempat, Rijal Arthomi selaku tim non-litigasi Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Rakyat Banten menjelaskan bahwa melakukan unjuk rasa secara damai merupakan sarana untuk meyampaikan aspirasi sebagai perbuatan yang legal dan dijamin oleh Undang-Undang No. 9 Tahun 1998.
“Unjuk rasa adalah peristiwa hukum, yang sejak awal menggunakan sarana Undang-Undang No. 9 Tahun 1998. Mulai dari proses persiapan untuk menyampaikan pendapat secara damai, proses melaporkan kegiatan penyampaian pendapat secara damai dan proses meminta pengamanan ke Polres serang hingga proses pembubaran penyampaian pendapat dijamin oleh undang-undang,” jelas Rijal
Ditemui paska sidang berlangsung, Ahmad Maulana sebagai Humas Aliansi Geger Banten memberikan penjelasan bahwa sidang kali ini kita mendengarkan keterangan bahwa ada peristiwa salah tangkap oleh Kepolisian Banten dalam operasi penanganan aksi unjuk rasa 6 Oktober yang lalu.
“Bagaimana bisa Kepolisian Polda Banten menangkap seorang pedagang, namun didalam dakwaan dan BAP nya kepolisian memasukannya ke dalam bagian dari aktivis mahasiswa. Terbukti bahwa kepolisian melakukan penangkapan secara acak dan diluar prosedur yang sebagaimana mestinya,” ungkap mahasiswa yang akrab disapa Maulana.
Terpantau dalam agenda sidang kali ini Pengadilan Negeri Serang ramai oleh mahasiswa dari berbagai kampus dan aktivis masyarakat pro-demokrasi yang datang untuk memberikan solidaritas terhadap 9 aktivis mahasiswa yang menjalani persidangan.
Arman Maulana mahasiswa UNTIRTA yang turut hadir dalam persidangan negeri serang menyatakan bahwa ini adalah bentuk solidaritas dari seluruh mahasiswa di Banten.
“Sebelumnya ada solidaritas dari kawan-kawan buruh dan sekarang dari kawan-kawan mahasiswa dari berbagai kampus berdatangan untuk bersolidaritas, untuk itu kami akan selalu bersolidaritas, dan ini merupakan upaya memperkuat persatuan,” ujarnya (Ahmad Khudori/Dani/SiGMA)