Oleh : Wardah
Sejak pandemi virus corona merambah ke Indonesia, seluruh aktifitas masyarakat banyak yang beralih menggunakan teknologi. Tanpa sadar, pandemi telah merubah masyarakat untuk mengejar kemajuan teknologi dengan pesat.
Kini pendigitalisasi merebah keseluruh sektor kehidupan manusia, mulai dari politik, industri hingga ke sektor pendidikan.
Melansir dari Suteki Technology, dampak dari pandemi yang merambah dunia pendidikan memicu percepatan transformasi pendidikan. Mulai dari pendidikan sekolah dasar hingga perguruan tinggi, akibat perubahan di sektor tersebut, pola pembelajaran pun berubah secara drastis yang semula tatap muka menjadi pembelajaran dalam jaringan (daring).
Hal ini merujuk pada penyelarasan era Revolusi Industri 4.0. Dengan berbagai aplikasi belajar online sebagai penunjang pembelajaran. Misalnya, platform aplikasi Google Meet, Zoom, Google Classroom, dan E-learning.
Hal ini membuat metode pembelajaran memerlukan akses internet serta sebuah gadget atau leptop yang terkoneksi dengan jaringan.
Namun permasalahannya, di beberapa wilayah di Indonesia, masih kesulitan terkait akses internet dan bahkan belum terjamah teknologi. Akibatnya, kegiatan pembelajaran daring menjadi terhambat dan materi ajar tidak tersampaikan.
Disamping itu, aktivitas belajar mengajar dilingkungan kampus sangat dibatasi, bahkan banyak kampus yang memilih lockdown. Keputusan tersebut diterapkan untuk memutus rantai penyebaran virus corona.
Salah satu mahasiswa jurusan Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah (PGMI) Universitas Islam Negeri (UIN) Sultan Maulana Hasanuddin Banten, Silfiani mengaku terkena imbasnya. Mahasiswa yang berdomisili di Bayah ini merasa kesulitan saat melakukan pembelajaran daring.
Mulai dari telat masuk mata kuliah, bahkan tidak ada kabar saat mata kuliah daring dimulai. Serta minimnya sinyal yang berada di Bayah ia katakan menjadi faktor utamanya.
“Di Bayah emang susah banget nyari sinyal, sekalinya ada suka hilang-hilangan, apalagi kalau hujan, terus mati lampu. Kadang kalo bener-bener ngga ada sinyal harus keluar dulu, biasanya nyari sinyal suka sampe ke rumah kaka yang lumayan jauh dari rumah,” tuturnya. Minggu (08/11)
Dilain hal, salah satu kebijakan dari kampus yang meluncurkan bantuan berupa kartu kuota khusus belajar sebesar 10 Giga Byte dan kuota internet 200 Mb yang dinilai kurang efektif karena kualitas sinyal di berbagai daerah berbeda-beda.
“Kalau di kartunya ngga ada sinyal mah percuma ada kuota juga. Kartu kuota dari kampus kalau dipake Zoom suka ngga bisa, bakal keluar terus,” lanjut Ifi, panggilan akrabnya.
Dari beberapa kasus yang ditemukan, bisa dilihat masih terdapat ketidak maksimalan dari pembelajaran daring tersebut. Diantaranya waktu yang habis hanya untuk mencari sinyal yang bagus, kemudian bisa saja saat sudah menemukan sinyal tapi jam perkuliahan sudah habis, serta faktor cuaca juga turut menjadi alasannya.
Jika hal ini terus berlanjut, kegiatan akademis mahasiswa akan terkena pengaruhnya, mulai dari kehadiran, tugas yang terhambat, bahkan bisa berujung Tidak Lulus (TL) pada mata kuliah yang diikutinya.
Dalam hal ini, pihak akademis kampus seharusnya lebih memperhatikan kondisi dari para mahasiswa, terutama pada kebijakan kartu kuota untuk mahasiswa yang berada di wilayah pelosok.
Kebijakan kartu kuota bisa digantikan dengan bantuan kuota langsung sesuai dengan kartu yang digunakan mahasiswa dan disesuaikan dengan daerah domisili setiap mahasiswa tersebut. Dengan pendataan yang dikolektif oleh masing-masing bagian kemahasiswaan setiap fakultas.
Hal ini akan dirasa lebih efektif karena mahasiswa tidak harus melakukan registrasi kartu terlebih dahulu, dan tidak harus beradaptasi dengan kartu baru yang belum tentu cocok dengan jaringan yang ada didaerahnya, sehingga akan memudahkan mahasiswa dalam melakukan pembelajaran daring. (Mg.Wardah/Nada/SiGMA)