Notice: Fungsi _load_textdomain_just_in_time ditulis secara tidak benar. Pemuatan terjemahan untuk domain td-cloud-library dipicu terlalu dini. Ini biasanya merupakan indikator bahwa ada beberapa kode di plugin atau tema yang dieksekusi terlalu dini. Terjemahan harus dimuat pada tindakan init atau setelahnya. Silakan lihat Debugging di WordPress untuk informasi lebih lanjut. (Pesan ini ditambahkan pada versi 6.7.0.) in /home/u642071575/domains/lpmsigma.com/public_html/wp-includes/functions.php on line 6121

Warning: Trying to access array offset on value of type bool in /home/u642071575/domains/lpmsigma.com/public_html/wp-content/plugins/seo-by-rank-math/includes/modules/version-control/class-beta-optin.php on line 148
Eksploitasi Anak: Luka Lama dari Panggung Sirkus yang Terabaikan - LPM SiGMA
BerandaNarasi KritisEksploitasi Anak: Luka Lama dari Panggung Sirkus yang Terabaikan

Eksploitasi Anak: Luka Lama dari Panggung Sirkus yang Terabaikan

Anak-anak seharusnya tumbuh dalam ruang aman yang penuh kasih sayang, pendidikan, dan perlindungan. Namun, kenyataannya tak selalu seindah itu. Dalam banyak konteks, anak-anak justru menjadi kelompok paling rentan dieksploitasi, baik secara fisik, emosional, maupun ekonomi. Eksploitasi terhadap anak bukanlah hal baru, tetapi terus terjadi dalam berbagai bentuk dan ruang. Dari buruh anak di sektor informal, pekerja domestik usia dini, hingga anak-anak yang dipaksa tampil di dunia hiburan demi keuntungan pihak-pihak tertentu.

Kasus eksploitasi anak dalam industri hiburan di Indonesia, rupanya terus terjadi dan tak pernah surut. Coba sejenak kita bayangkan sorot lampu panggung yang gemerlap, tawa penonton yang riuh, dan tepuk tangan yang menggema di udara, Jika kita lihat semuanya tampak sempurna bukan? Tapi, adakah yang benar-benar tahu cerita di balik tirai pertunjukan itu? Siapa yang memerhatikan ketika anak-anak justru menjadi “pemeran utama” dalam drama panjang eksploitasi atas nama hiburan?

Berdasarkan data dari laman resmi Komnas HAM yang dirilis Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI-PPA), menunjukkan bahwa pada bulan Januari hingga Februari tahun 2024 tercatat 1.993 kasus kekerasan terhadap anak. Angka ini mencerminkan tingginya tingkat kekerasan terhadap anak di Indonesia.

Eksploitasi anak dalam industri hiburan merupakan pelanggaran serius terhadap hak asasi manusia yang kerap kali tersembunyi di balik gemerlap panggung pertunjukan. Salah satu kasus terbaru, pelanggaran HAM dalam dunia hiburan ialah dugaan eksploitasi terhadap eks pemain Oriental Circus Indonesia (OCI) yang tampil di Taman Safari Indonesia.

Para korban, yang kini telah dewasa, mengungkap pengalaman getir masa kecil mereka yang penuh penderitaan, dipisahkan dari keluarga, dipaksa tampil tanpa upah yang layak, dilarang mengakses pendidikan, bahkan mengalami penyiksaan fisik dan psikologis. Ironisnya, semua itu terjadi demi menghadirkan hiburan bagi publik, sementara mereka dipaksa tersenyum menutupi luka yang dalam.

Pengakuan Butet, mantan pemain sirkus yang kala itu baru berusia 10 tahun, seharusnya membuat kita terhenyak. Ia dipaksa memakan kotoran gajah hanya karena memakan daging empal tanpa izin. Lebih dari itu, ia dirantai, dipukuli ketika dinilai tampil tidak memuaskan, bahkan tetap dipaksa tampil saat hamil. Setelah melahirkan, anaknya pun langsung diambil. Ini bukan sekadar kisah tragis, tetapi bukti bahwa praktik eksploitasi anak dilakukan secara terang-terangan, sistematis, dan tanpa empati. Bagaimana mungkin sebuah pertunjukan hiburan dijalankan di atas penderitaan anak-anak yang dilucuti hak dan martabatnya?

Lebih mencengangkan lagi, laporan Komnas HAM menunjukkan bahwa kasus ini telah dilaporkan sejak 1997, kemudian berulang di 2004 dan 2024. Artinya, negara tahu, tetapi gagal bertindak. Ini bukan kasus yang luput dari pantauan, melainkan sebuah pelanggaran yang dibiarkan mengakar. Pengabaian seperti ini sama bahayanya dengan kekerasan itu sendiri, karena ia menunjukkan kelumpuhan negara dalam melindungi anak-anak dari sistem eksploitatif.

Temuan Komnas HAM yang menyebut adanya pelanggaran terhadap hak atas identitas, pendidikan, dan perlindungan sosial semakin menguatkan bahwa ini bukan sekadar salah urus, tapi bentuk kejahatan terstruktur. Dugaan praktik perdagangan orang (TPPO) yang disampaikan oleh Komisi XIII DPR RI harus menjadi alarm keras bahwa eksploitasi ini tak bisa lagi dianggap sebagai insiden, tapi kejahatan terorganisir.

Lebih ironisnya lagi, pernyataan pelatih sirkus OCI, Tony Sumampouw, yang menyebut pemukulan sebagai “hal biasa” dalam pelatihan, menunjukkan bahwa kekerasan telah dinormalisasi dalam sistem. Normalisasi kekerasan seperti ini adalah bentuk pembiaran kolektif yang merusak nilai-nilai kemanusiaan. Negara tidak bisa hanya sekadar mengumpulkan data dan berjanji akan menyelidiki. Sudah terlalu lama korban hidup dalam diam, trauma, dan ketidakadilan.

Tuntutan Rp3,1 miliar yang diajukan korban bukan sekadar soal materi, melainkan simbol perlawanan atas sistem yang telah lama menindas mereka. Setelah lebih dari dua dekade terbungkam oleh ketakutan dan trauma, keberanian mereka untuk bersuara harus disambut dengan langkah konkret negara. Jika kali ini pun kita gagal mendengarkan dan bertindak, maka kita semua turut menjadi bagian dari kekerasan itu sendiri.

Kasus ini menjadi titik balik bagi perlindungan anak di Indonesia, khususnya dalam industri hiburan yang selama ini minim pengawasan. Tidak boleh ada lagi anak yang dikorbankan demi tontonan. Sebab anak bukan properti, bukan alat hiburan, melainkan manusia utuh dengan hak yang sama untuk tumbuh, belajar, dan hidup tanpa ketakutan. Negara tidak hanya wajib memberi perlindungan, tetapi juga keadilan yang nyata, bukan sekadar janji kosong belaka.

Penulis: Frida
Editor: Enjat

- Advertisment -

BACA JUGA