Indonesia saat ini sedang menghadapi darurat pelecehan seksual. Dimulai dari kampus, pesantren, instasi pemerintah, ruang publik hingga ruang pribadi, yakni rumah sendiri. Ironisnya, meskipun kasus pelecehan yang makin marak, respons pemerintah terlihat masih lamban, bahkan cenderung permisif.
Negara seperti kehilangan daya, untuk melindungi warganya dari kekerasan yang menggerogoti martabat manusia. Di tengah gemuruh demokrasi, tubuh perempuan rentan menjadi medan eksploitasi.
Berdasarkan laporan Komnas Perempuan 2023 mencatat bahwa terdapat 457.895 kasus kekerasan terhadap perempuan, angka ini kian meningkat signifikan dibandingkan tahun sebelumnya. Dari jumlah itu, sebagian besar merupakan kasus kekerasan seksual, yang terjadi di ranah personal dan komunitas.
Salah satu kasus ditemukan datang dari seorang mahasiswi di salah satu kampus negeri ternama. Pelecehan yang dilakukan oleh dosennya sendiri, namun ketika melapor, ia justru diintimidasi dan dijatuhi sanksi akademik. Dosen tersebut dilindungi oleh status dan jaringan kekuasaan, sementara korban dituduh merusak nama baik institusi. Ini bukan insiden tunggal, ini pola. Pola yang menunjukkan bagaimana kekerasan seksual dinormalisasikan oleh sistem yang bobrok.
Fakta yang lebih mengerikan, tak sedikit pelaku berasal dari kalangan akademisi dan aparatur negara. mereka yang seharusnya menjadi penjaga moral publik dan hukum. Kampus dan institusi pemerintahan, yang semestinya menjadi tempat menegakkan etika dan integritas, justru menjadi ruang aman bagi predator seksual.
Dengan status sosial dan kekuasaan struktural yang mereka miliki, para pelaku dapat mengendalikan narasi, memutarbalikkan fakta, dan menghentikan suara korban. Mereka bukan hanya pelaku individu, mereka bagian dari jaringan kekuasaan yang saling melindungi.
Sering kali, institusi menutup-nutupi kasus demi menjaga citra. Laporan korban dianggap aib yang bisa merusak reputasi lembaga, bukan sebagai alarm moral yang menuntut perbaikan sistem.
Di kalangan birokrasi, korban dipaksa tunduk karena pelaku adalah atasan langsung, dan dalam banyak kasus, pemegang otoritas anggaran maupun karier. Bukannya mendapat perlindungan, korban justru kehilangan pekerjaan, dirotasi secara paksa, bahkan dikriminalisasi dengan tuduhan pencemaran nama baik.
Perempuan yang melapor justru sering kali disalahkan. Mereka diinterogasi layaknya pelaku: “Kenapa pakai baju seperti itu?”, “Kenapa tidak melawan?”, “Kenapa baru sekarang melapor?” Pertanyaan-pertanyaan ini lebih menyakitkan dari luka fisik yang mereka alami. Ini bukan sekadar kegagalan hukum, tapi juga kegagalan moral bangsa.
Mirisnya, Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) No. 12 Tahun 2022 yang dirancang untuk memberikan perlindungan hukum yang lebih komprehensif terhadap korban kekerasan seksual dan untuk memastikan bahwa pelaku mendapatkan sanksi yang sesuai, masih belum mampu menjawab urgensi keadilan.
Bahkan, Pasal 5 ayat (1) menyebut bahwa korban berhak atas penanganan, perlindungan, dan pemulihan. Namun kenyataannya, aparat penegak hukum masih sering kali tidak sensitif gender, bahkan mengintimidasi korban. Undang-undang yang seharusnya menjadi pelindung justru menjadi pasal mati jika implementasinya hanya sebatas simbol.
Lebih mengerikan lagi, ruang digital yang seharusnya menjadi tempat aman justru berubah menjadi ladang baru bagi predator seksual. Kekerasan berbasis digital seperti sextortion, penyebaran konten intim tanpa persetujuan, dan perundungan seksual meningkat drastis. Ketika korban melawan, mereka justru dibungkam, dilabeli “baper”, atau bahkan diancam balik dengan UU ITE. Negara gagal memahami bahwa kekerasan seksual tak mengenal batas ruang.
Pendidikan yang seharusnya menjadi benteng terakhir pun gagal total. Pendidikan seksual masih dianggap tabu, padahal itulah senjata pertama untuk pencegahan. Sementara anak-anak dan remaja dijejali konten pornografi bebas di internet, mereka tidak dibekali pemahaman tentang batas tubuh, konsen, dan hak atas rasa aman.
Ketakutan atas moralitas justru membunuh pendidikan yang membebaskan. Akibatnya, kita hanya menciptakan generasi yang kerap bungkam terhadap pelecehan, atau lebih parah, generasi pelaku yang tak sadar bahwa mereka telah melanggar.
Situasi ini adalah cermin dari negara yang memihak pelaku dan menelantarkan korban. Selama sistem hukum, budaya, dan institusi sosial tidak berpihak pada penyintas, maka kita sedang menciptakan negara yang secara sistemik melindungi kekerasan seksual.
Ini bukan sekadar krisis sosial, melainkan bentuk pengkhianatan terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Korban tidak hanya berjuang melawan pelaku, tetapi juga melawan sistem yang rusak dari akar.
Sudah waktunya masyarakat menolak diam. Kita butuh solidaritas, bukan simpati sesaat. Kita perlu dukung komunitas pendamping korban, desak reformasi institusi penegak hukum, dan dorong pendidikan seksualitas komprehensif di setiap tingkat. Jangan biarkan kekerasan seksual menjadi bagian dari normalitas sosial kita. Jika dari diri pribadi kita kerap abai akan masalah ini, maka kita semua adalah bagian dari kekerasan itu.
Penulis: Frida
Editor: Lydia