Ingin Raih Pendidikan, Segelintir Anak Tumbuh di Trotoar

0
23 views

Hari Pendidikan Nasional semestinya dirayakan sebagai penegasan hak dasar setiap warga negara: hak untuk belajar, tumbuh, dan bermimpi. Namun, di Kota Serang, perayaan ini terasa getir. Di balik deretan angka dan bangunan sekolah yang tercatat rapi di laporan, masih ada ratusan anak yang menyandarkan masa depan pada relawan dan bukan pada negara.

Setiap sore, di salah satu sudut kota, sekelompok anak duduk bersila di atas trotoar. Buku-buku bacaan dan alat tulis seadanya terhampar di depan mereka. Bukan di ruang kelas berdinding papan tulis, melainkan di jalanan berdebu. Sekolah Pinggir Jalan, begitu mereka menamainya. Sebuah ruang darurat yang dibentuk komunitas relawan demi menjawab kebutuhan paling mendasar yang gagal dipenuhi negara yakni pendidikan.

Data Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Serang mencatat lonjakan angka putus sekolah dari 122 anak pada 2023 menjadi 1.752 anak di 2024. Bukan sekadar statistik, tapi alarm kegagalan sistemik. Kota Serang memang punya lebih dari 900 sekolah. Tapi kenyataannya, bahwa Sekolah Pinggir Jalan tumbuh dan diminati, menunjukkan bahwa krisisnya bukan pada jumlah sekolah, melainkan pada akses dan keadilan.

Anak-anak itu tidak menolak sekolah formal. Mereka ditolak oleh sistem. Pendidikan yang dijanjikan inklusif, justru jadi milik segelintir yang mampu secara geografis, sosial, dan ekonomi. Sisanya terlempar oleh kemiskinan struktural dan sistem pendidikan yang tak pernah benar-benar menyapa mereka.

Pemerintah daerah seharusnya merasa malu, ketika relawan harus mengambil alih peran yang semestinya menjadi tanggung jawab negara. Anak-anak yang belajar di bawah pohon atau alas seadanya bukanlah kisah inspiratif. Melainkan itu adalah sedikit potret kelalaian. Ketika negara abai, solidaritas sipil memang mengisi kekosongan, tapi itu bukan justifikasi untuk melepas tanggung jawab.

Pendidikan bukan slogan tahunan. Ia adalah janji konstitusi. Maka ketika anak-anak harus menggantungkan harapan pada kegiatan sukarela, itu karena negara gagal menjamin hak mereka. Bukan hanya ironi, melainkan bentuk pengkhianatan terhadap amanat Undang-Undang Dasar.

Pemerintah Kota Serang tidak cukup hanya mencatat jumlah sekolah yang dibangun. Jauh lebih esensial daripada itu ialah, berapa anak yang diselamatkan dari putus sekolah? Berapa yang merasa aman dan nyaman di ruang belajar? Serta, berapa yang tak lagi bergantung pada relawan untuk belajar mengenal huruf dan angka?

Hari Pendidikan Nasional seharusnya menjadi pengingat, bahwa di pinggir jalan Kota Serang, ada anak-anak yang diam-diam bertanya “kemana negara?”.

Penulis : Naila
Editor: Lydia