Keloyoan SEMA-U

0
79 views
Desain: Produksi

Desember sudah hampir usai. Dalam kalender organisasi mahasiswa, ini semestinya bukan lagi masa menunggu, melainkan waktu kepastian. Sosialisasi Pemilihan Umum Mahasiswa (PUM) seharusnya telah berlangsung, tahapan sudah diumumkan, dan mahasiswa mengetahui ke mana arah demokrasi kampus akan berjalan. Namun hingga tulisan ini terbit, informasi resmi mengenai PUM tak kunjung disampaikan. Keheningan ini terlalu janggal untuk sebuah lembaga legislatif mahasiswa yang seharusnya menjadi penentu ritme demokrasi.

SEMA-U tampak terjebak dalam pola lama yakni menunda, mengulur, lalu membungkusnya sebagai proses. Penundaan PUM seperti telah menjadi rutinitas tahunan. Jika kembali diundur ke Januari, alasannya nyaris selalu sama yakni anggaran. Tahun berjalan tak pernah berdiri di atas kakinya sendiri, 2023 memakai anggaran 2024, lalu pelaksanaan PUM 2024 direncanakan menggunakan anggaran 2025. Praktik ini bukan sekadar kekeliruan teknis, melainkan cerminan dari tata kelola yang tidak pernah dibenahi. Sebuah lingkar setan yang dibiarkan berputar tanpa kehendak untuk memutusnya.

Masalahnya bukan semata soal keterlambatan, melainkan soal tanggung jawab. Ketika SEMA-U mengetahui potensi krisis anggaran sejak awal, seharusnya ada langkah korektif yang tegas dan terbuka. Namun yang terjadi justru sebaliknya yakni penundaan dibiarkan menjadi opsi pertama, bukan pilihan terakhir. Akibatnya, demokrasi mahasiswa kembali diposisikan sebagai agenda fleksibel, bukan kewajiban konstitusional.

Di sisi lain, fungsi pengawasan SEMA-U juga tampak tumpul. DEMA-U yang diketahui tidak aktif serta bermasalah secara internal tak mendapatkan teguran resmi. Tidak ada pernyataan kelembagaan, tidak pula sikap politik yang jelas. Padahal, dalam sistem organisasi mahasiswa, diamnya legislatif bukanlah bentuk kehati-hatian, melainkan sinyal bahwa pelanggaran bisa dibiarkan.

Ketiadaan sikap ini mempertegas kesan bahwa SEMA-U lebih memilih menjaga stabilitas semu ketimbang menjalankan mandat pengawasan. Ketika eksekutif bermasalah dan legislatif memilih bungkam, maka mekanisme check and balance kehilangan maknanya. Yang tersisa hanyalah struktur organisasi tanpa daya kontrol.

Alih-alih memprioritaskan penyelesaian persoalan mendasar tersebut, SEMA-U justru baru menjadwalkan reses pada bulan Desember, bahkan reses dapil pemilihan di akhir bulan. Agenda ini seolah ditempatkan tidak penting karena dilakukan di akhir tahun. Fungsi kelembagaan pun tereduksi menjadi sekadar pemenuhan daftar program kerja, bukan kerja substantif yang menjawab krisis.

Logika semacam ini menunjukkan pergeseran orientasi. Bukan lagi soal menjalankan fungsi, melainkan memastikan program terlaksana di atas kertas. Padahal, reses tanpa kepastian arah politik kelembagaan hanya akan menjadi perjalanan administratif yang miskin dampak. Demokrasi mahasiswa tak membutuhkan lebih banyak kegiatan, melainkan keputusan.

Keloyoan SEMA-U pada akhirnya bukan soal kurangnya sumber daya atau sempitnya waktu, melainkan absennya keberanian untuk bertindak. Ketika penundaan dijadikan kebiasaan dan pembiaran dianggap kenormalan, maka yang sedang dirusak bukan hanya jadwal PUM, tetapi juga legitimasi lembaga itu sendiri.

Jika SEMA-U terus memilih menunggu dan mengulur, maka publik kampus patut bertanya. Siapa sebenarnya yang diwakili oleh lembaga ini? Sebab demokrasi mahasiswa tidak pernah mati secara tiba-tiba. Ia melemah perlahan, ditunda, diulur, dan dibiarkan oleh mereka yang seharusnya menjaganya.

Penulis: Najib