Ketika Lembaga Menjelma Dewa di PUM 2023

0
475 views
PUM

Oleh: Eqi Nur Ramadhan, Mahasiswa Fakultas Tarbiyah dan Keguruan

Pemilihan Umum Mahasiswa (PUM) UIN SMH Banten hampir sampai kepada akhir penyelenggaraannya, panjang dan kompleksnya tahapan-tahapan PUM dengan segala dinamikanya pun juga hampir seluruhnya terlaksana.

Namun diantara keseluruhan rangkaian PUM tersebut, menarik bagi kita untuk menyoroti peran lembaga yang sekilas menjelma jadi tokoh-tokoh adikuasa dalam pengambilan keputusan di tingkat konsep hingga tingkat teknis pada pesta demokrasi mahasiswa tahun ini.

Jika membaca UU KBM 2023 dalam amandemen atau revisinya terhadap peraturan-peraturan PUM di UU KBM 2021, di buku kedua bab 3 pasal 56 sampai 58 kita dapat melihat jelas poin-poin yang mengatur tentang peran Team Justicia yang diisi oleh Wakil Rektor III di tingkat universitas dan Wakil Dekan III di tiap-tiap Fakultas, dan dari sini pula kita bisa memahami bahwa Wakil Rektor III dan Wakil Dekan III adalah representasi lembaga dalam perannya di PUM 2023.

Namun yang menarik adalah eksekusi Team Justicia terhadap tugas dan wewenangnya yang dalam beberapa kesempatan melangkahi UU KBM itu sendiri, hal ini dikhawatirkan mendiskreditkan UU KBM yang menjadi landasan hukum tertinggi, selain itu dikhawatirkan hal ini menjadi indikasi bahwa lembaga gagal literasi dan buta konstitusi terhadap batasan peran dan fungsinya di PUM tahun ini.

Keresahan-keresahan diatas dapat kita analisa pada salah satu contoh kasus di lapangan seperti keterangan yang disampaikan oleh KPUM FTK yang mengaku sempat di intruksikan oleh Wakil Dekan  III FTK  sebagai Team Justicia untuk meloloskan seluruh calon yang bermasalah dalam ketidak lengkapan berkas dengan dalih asas kekeluargaan, dari sini kita bisa melihat gagal pahamnya Team Justicia memaknai wewenangnya dalam penyelesaian sengketa serta dilangkahinnya peraturan persyaratan calon yang jelas termaktub dalam UU KBM.

Padahal secara hierarki dan konstitusi hak dan wewenang Team Justicia diatur dalam UU KBM, lantas bagaimana bisa Team Juaticia menganulir UU KBM itu sendiri, sekalipun dalam UU KBM terdapat dalil hukum untuk Team Justicia menyelesaikan sengketa secara kekeluargaan, namun tentunnya tidak lantas melegitimasi tindakannya untuk menganulir hal-hal yang sudah diatur secara konstitusional.

Implikasi dari segala persoalan diatas adalah ketidak mandirian mahasiswa dalam mengelola pesta demokrasinya,badan-badan yang mengatur PUM banyak kehilangan kesempatan berpikir dan kesempatan untuk mengeluarkan kebijakan, pihak-pihak penggugat dan tergugat terlalu banyak dimanja oleh Team Justicia, tidak ubah seorang anak yang dimomong orang tuannya.

Kemandirian serta hak dan wewenang mahasiswa dalam mengelola dinamika dan demokrasi dilucuti dengan Team Justicia yang terlalu banyak mendominasi. Lantas apakah hadirnya Team Justicia dapat dikatakan salah? Jawabannya adalah tidak. Mahasiswa sebagai pihak yang sedang belajar akan selalu membutuhkan bimbingan, saran, dan mediator, namun pembimbing dan terbimbing juga harus mengetahui batasan dan wilayah yang bisa dicampuri.

Sebagai penutup dan pembelajaran, barangkali yang perlu kita sadari dalam penyelenggaraan PUM adalah bahwa produk demokrasi di tingkatan kampus bukan hanya sosok Presma, bukan juga hanya Ketua DEMA atau SEMA, atau bahkan HMJ sekalipun, lebih kompleks daripada itu kampus sebagai miniatur state tidak hanya sedang melatih seorang calon untuk menang, namun juga sedang melatih keseluruhan unsur dan sistem yang bekerja dalam suksesi PUM untuk kemudian menjadi gambaran bagi mereka dan kita semua tentang bagaimana menjalankan dan berpartisipasi dalam demokrasi yang sebenarnya di tingkatan real state atau negara.