Belakangan ini, vasektomi mendadak menjadi topik panas di media sosial. Pasalnya, ada yang mengganggap bahwa ini adalah langkah maju, ada pula yang menolaknya mentah-mentah. Di tengah percakapan publik tentang keadilan peran dalam keluarga, muncul pertanyaan menggelitik, kenapa urusan alat kontrasepsi masih dianggap “urusan perempuan saja”?
Vasektomi bukanlah program baru! Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) telah lama mendorong partisipasi pria dalam program Keluarga Berencana (KB) melalui vasektomi. Prosedurnya sendiri tergolong ringan, yakni memutus atau menutup saluran sperma (vas deferens) melalui tindakan bedah kecil berdurasi 15 hingga 30 menit dengan anestesi lokal. Meski bersifat permanen, vasektomi tidak mempengaruhi gairah seksual, fungsi ereksi, maupun ejakulasi pria.
Partisipasi laki-laki dalam KB, khususnya melalui vasektomi, masih sangat rendah. Berdasarkan data Sistem Informasi Keluarga (SIGA) BKKBN per Mei 2024, hanya sekitar 0,1% dari total 27 juta akseptor KB yang menggunakan metode vasektomi.
Pihak pendukung menyebut vasektomi sebagai keadilan reproduktif. Tak hanya aman dan efektif, vasektomi juga bisa menjadi simbol tanggung jawab laki-laki dalam keluarga, di tengah dominasi alat KB untuk perempuan.
Sebaliknya, suara kontra muncul dari norma budaya yang kuat. Banyak yang mengaitkan vasektomi dengan hilangnya “kejantanan”. Belum lagi anggapan bahwa laki-laki yang disteril dianggap lemah atau tunduk pada istri, narasi patriarki masih sangat hidup di negeri ini.
Ironisnya, selama ini perempuan harus menanggung beban alat KB yang berisiko pada kesehatan. Dari pil, suntik, IUD, hingga steril. Laki-laki? Hampir nihil kontribusinya. Maka, mengapa ketika secara bergantian laki-laki diminta berkontribusi, banyak yang menolak?
Penting untuk dicatat, bahwa tantangan terhadap vasektomi tidak sepenuhnya karena kurangnya niat, tetapi juga karena minimnya edukasi publik yang menyeluruh dan berbasis medis. Banyak pria yang belum mengetahui vasektomi adalah prosedur non-hormonal, aman, dan tidak berdampak pada kehidupan seksual mereka. Tanpa pendekatan komunikasi yang tepat, stigma dan disinformasi akan terus bertahan.
Vasektomi bukan musuh laki-laki, tapi cerminan tanggung jawab. Jika negara serius, maka edukasi publik, pelibatan tokoh agama dan budaya, serta fasilitas medis yang layak, harus jadi prioritas, bukan hanya sekadar target angka.
Pada akhirnya, mengatur kelahiran bukan hanya tanggung jawab perempuan. Saatnya laki-laki ikut terlibat dan tidak terus bersembunyi di balik dalih maskulinitas. Kejantanan sejati tidak diukur dari dominasi, melainkan dari kesediaan berbagi tanggung jawab secara setara dalam keluarga.
Penulis: Indah
Editor: Lydia