Oleh: Adinda Syaharani Syam mahasiswa fakultas Sains dan Teknologi
Sebulan yang lalu, liburan di pantai favorit Mahendra yang seharusnya menjadi kenangan indah justru berubah menjadi bencana. Ombak dahsyat mengubah malam penuh harapan menjadi malam penuh kepedihan. Mahendra, yang biasanya merasakan kebahagiaan dari pantai yang tenang, kini harus menghadapi kenyataan pahit. Karena pantai itulah ia kehilangan segalanya, keluarga yang dicintai dan kebahagiaan yang diharapkannya.
Malam itu, Mahendra yang buta, adiknya Dirga, dan ibu mereka berlari meninggalkan pantai. Suasana tegang dan panik menyelimuti mereka saat ombak semakin mendekat, mengancam segala sesuatu di sekelilingnya. Mahendra yang tidak bisa melihat dan hanya bergantung pada adiknya, Mahendra merasa tidak berdaya. Dirga, yang mengerti bahwa sang Kakak kesulitan segera menggendong Mahendra di punggungnya dan berlari secepat mungkin. Dengan tangan kanannya, Dirga menggenggam tangan ibu mereka, berusaha menjaga mereka semua tetap bersama. Namun, dalam kekacauan dan kerumunan orang-orang yang melarikan diri, genggaman itu terlepas.
“Pergi, tinggalkan saja Ibu, selamatkan diri kalian,” kata ibu mereka, suaranya terdengar samar di antara teriakan dan kekacauan. Kata-katanya menjadi perintah terakhir, sebelum menghilang ditengah kericuhan.
Di tengah air yang semakin cepat naik, Dirga berlari dengan air mata yang tak henti-hentinya mengalir. Mahendra, yang hanya bisa merasakan ketegangan dan kesakitan melalui suara dan sentuhan, menangis tanpa suara di balik punggung adiknya. Mereka akhirnya menemukan tim penyelamat yang sedang mengevakuasi orang-orang. Dengan sisa tenaganya, Dirga membawa Mahendra menuju mobil penyelamat, membawa sang Kakak masuk ke dalam kendaraan dengan segala upaya.
Namun, air terus mengejar mereka. Dirga, dengan panik bergegas naik dan menutup pintu mobil, lalu memberi isyarat kepada sopir untuk pergi sebelum air menyentuh kendaraan. Dirga memeluk sang kakak, mencoba untuk menenangkannya.
“Kak, ada Dirga di sini, semua akan baik-baik saja,” ucap Dirga dengan suara setenang mungkin, ia terus memeluk sang kakak.
“Dirga janji ya, jangan tinggalin Mahen seperti Ayah dan Ibu,” ucap Mahendra dengan isak tangis yang begitu pilu.
Dirga hanya tersenyum, meskipun hatinya terasa hancur. Nyatanya, semenjak ia berlari sambil menggendong sang kakak dan berdesakan dengan kerumunan, dadanya terasa sesak dan napasnya tidak seperti biasanya. Kini Dirga hanya berharap apa pun yang terjadi padanya kelak, sang kakak harus tetap aman.
Hari demi hari berlalu, air secara perlahan kembali tenang. Selama itu pula, Dirga merawat sang kakak dengan sangat baik. Di posko penyelamatan, Ia selalu berada di sisi Mahendra, tidak membiarkannya kesusahan. Mahendra merasa sangat bersyukur memiliki adik seperti Dirga, meskipun kedua orang tua mereka sudah tiada.
Sebulan kemudian, dokter yang bertugas di posko mendekati Mahendra.
“Mahendra, apa kabar?” tanya dokter.
“Baik, Dok. Kondisiku semakin baik,” jawab Mahendra.
“Syukurlah. Dirga bagaimana?” tanya dokter sambil menatap Dirga
“Baik, Dok,” jawab Dirga.
“Mahendra, aku ada kabar baik. Kami beberapa hari yang lalu, atas permintaan Dirga, mencarikan pendonor mata untukmu, dan kami menemukannya. Bagaimana jika kita lakukan operasi minggu depan di rumah sakit?”
“Sungguh? Aku bisa melihat lagi? Iya, aku mau!” Mahendra sangat senang mendengar kabar itu.
Setelah mengobrol cukup lama, dokter pun pamit pergi.
“Dirga, kakak akan bisa melihat. Kakak bisa melihat wajah Dirga yang sekarang. Terakhir kali aku melihat wajahmu saat kita masih SD,” ucap Mahendra, meraba keberadaan wajah sang adik.
Dirga pun mengarahkan tangan kakaknya ke arah wajahnya.
“Dirga ikut senang, kak. Senang sekali.”
“Terima kasih sudah meminta mereka mencarikan pendonor mata untukku”
“Iya sama-sama Kak, janji sama Dirga yah setelah bisa melihat nanti Kakak harus hidup dengan bahagia” kata Dirga sambil mengelus wajah sang Kakak
Mahendra hanya menganggukkan kepalanya sebagai jawaban.
“Kak, kuharap senyuman mu tidak akan pernah pudar. Aku harap binar bahagia di mata mu akan selalu bersinar ” kata Dirga dalam hati.
Akhirnya hari yang di nantikan Mahendra tiba. Hari operasi matanya.
“Dirga boleh ikut masuk Dok? ” tanya Mahendra
“Tidak, Dirga akan tunggu di luar” jawab dokter
“Tapi… ” ucap mahendra sedikit ragu
“Kakak, tenang yah. Dirga akan selalu ada di sisi Kakak. Sekarang masuk yah”
Akhirnya Mahendra masuk ke ruang operasi. Operasinya berjalan dengan lancar. Butuh beberapa jam untuk mahendra kembali sadar.
Perlahan Mahendra membuka matanya, Ia mengerjapkan mata dan melihat sekeliling, namun ia tidak menemukan kehadiran seseorang yang sangat ingin dia lihat wajahnya.
“Mahendra, bagaimana apa semuanya baik? ” tanya Dokter
“Baik Dok” jawab Mahendra dengan senyuman
“Dirga dimana Dok?, apa dia masih di luar? ” tanya Mahendra
“Ini dia titip surat untuk kamu”, ucap sang dokter sebelum pergi meninggalkan ruangan
Mahendra tertawa kecil, Ia berpikir bahwa adiknya ini lucu. Untuk apa Ia mengirim surat kan bisa menemuinya secara langsung.
“Dia itu ada-ada saja” ucap Mahendra sambil membuka amplop surat itu.
Di amplop tertulis surat untuk kakak hebat dari adik kecilnya.
“(●’◡’●)ノ Hi, gimana penglihatannya baguskan?, tentu bagus karena aku menjaga mata itu dengan sangat baik. Kakak tenang saja aku sering makan sayur jadi matanya pasti sehat. Kakak kaget yah? Jangan menangis Kak, ini keputusan ku sendiri. Lagi pula memang sudah takdirnya aku harus pergi, Dokter bilang ada gangguan di sistem pernapasan ku, ada semacam penyumbatan, dan Kakak tau ternyata penyumbatan itu sudah lama berdiam di tubuhku karena itu kata dokter sudah terlambat untuk melakukan operasi, jadi aku memutuskan untuk merawat kakak dengan baik sebelum aku pergi menyusul Ayah dan Ibu. Lalu aku berpikir untuk mendonorkan mataku untuk mu, karena itu aku bertemu dokter dan mengatur jadwal operasi Maaf Kak aku tidak bisa merawat Kakak lagi. Tapi aku tidak ingkar janji, aku tetap mendampingi kakak lewat mata itu. Oh iya aku juga memasukan foto kita, aku dan kakak, kakak bisa melihat wajahku dari foto itu. Kak tepati janjinya yah, hidup dengan bahagia dan sehat. Aku sayang sekali pada mu. Dari adik kecilmu, Dirga”.
Mahendra menangis begitu pilu setelah membaca surat sang adik, lagi dan lagi Ia harus merasakan kehilangan, setelah kehilangan ayahnya saat kecil, kehilangan ibunya seminggu lalu dan kini ia harus kehilangan adiknya juga. Ia tatap foto yang ditinggalkan adiknya, hatinya terasa sesak sekali. Andai ia tidak buta, adiknya tidak perlu melakukan hal ini dan ia bisa membantu sang adik menjaga ibu, hingga ibu tidak akan tertinggal di kerumunan.
Setahun berlalu, Mahendra sudah kembali ke rumah kecil milik keluarganya, rumah yang penuh kenangan ia, Dirga, Ibu dan Ayah. Mahendra mencoba untuk menata kembali hidupnya. Dan hari ini ia memutuskan untuk pergi ke makam Ayah, Ibu dan Adiknya.
Sore hari Mahendra sampai di pemakaman umum tempat keluarganya dimakamkan kan, Ia menaburkan bunga dan menyiramkan air.
“Hi, kalian apa kabar? , maaf aku baru sanggup kesini setelah setahun lamanya. Ayah, apa sudah bertemu Ibu dan Dirga? Dirga terima kasih yah, berkat kamu aku bisa melihat dunia, sekali lagi terima kasih. Aku kesini juga ingin meminta izin untuk pamit pergi. Maafkan aku, sekali lagi maaf karena jadi anak yang tidak berguna dan kakak yang tidak bisa diandalkan. Aku pergi selamat tinggal”.
Mahendra pun pergi meninggalkan makam keluarganya.
Malam pun tiba
Kini, Mahendra berdiri di tepi pantai yang dulunya penuh kebahagiaan. Ia memutuskan untuk pergi ke pantai favoritnya, tempat dimana kejadian mengerikan itu terjadi. Kini ia bisa melihat pemandangan langit malam yang penuh bintang, suara air yang dulu membuatnya merasa tenang, kini hanya mengingatkan pada rasa sakit yang mendalam.
“Dulu aku suka sekali pantai, tapi sekarang aku membencinya. Suara air yang dulu selalu berhasil membuatku tenang kini hanya mengingatkan ku pada rasa takut” ucap Mahendra dengan suara pilu. Dalam malam yang sepi, ia merasakan betapa besar luka yang tersisa di hatinya. Pantai yang dulu penuh dengan kenangan bahagia kini hanya menyisakan duka yang mendalam.
Dengan penuh rasa sakit, Mahendra menggerakkan langkahnya menjauh dari pantai, meninggalkan tempat yang kini hanya menyimpan kenangan akan kehilangan yang tidak akan pernah bisa dilupakan.
Malam itu ia kembali ke rumahnya, menulis beberapa kata di selembar kertas, ia mengambil satu botol kecil dan meminumnya, lalu ia baringkan tubuhnya yang lelah di kasur kedua orang tuanya.
2 hari berlalu, warga menemukan tubuh Mahendra yang sudah tidak bernyawa terbaring di kasur dengan selembar kertas disampingnya.
“Ayah, Ibu dan Dirga, maaf, maaf, maaf. Aku sudah mencoba, namun aku tidak sanggup, luka di hatiku tak pernah membaik, justru luka itu semakin besar. Maafkan aku karena memilih jalan ini, tapi kesendirian dan rasa sepi yang kurasakan membuatku tak tahan. Dirga maaf karena Kakak lebih memilih kegelapan dibandingkan cahaya yang kau berikan. Aku pamit, aku berharap dikehidupan selanjutnya kita akan jadi keluarga dengan akhir yang bahagia”. Mahendra
Itulah yang tertulis di kertasnya, warga bergegas menelpon polisi dan ambulan untuk mengevakuasi jasad Mahendra. Dan di ketahui bahwa Mahendra meminum sianida untuk mengakhiri hidupnya.