Setiap 21 April, aroma melati menyelimuti senyum perempuan anggun dalam kebaya dan sanggul, menghidupkan kembali citra Kartini dengan balutan warna pastel. Di tengah riuh sorak-sorai dan kilatan kamera, semangat yang lebih mendalam muncul dengan keberanian perempuan Indonesia untuk tampil, berbicara, dan menjadi dirinya sendiri, tanpa takut kehilangan identitas.
Namun, di balik kemegahan perayaan ini, tersembunyi kenyataan yang sering terlupakan. Kartini hari ini, sering terperangkap dalam gambaran feminin yang terbatas, hanya dilihat sebagai lambang kelembutan dan ketaatan. Padahal, Kartini yang sesungguhnya adalah sosok yang memperjuangkan hak-hak perempuan dengan penuh keberanian. Dalam surat-suratnya kepada J.H. Abendanon, ia menulis, “Saya ingin melihat perempuan Indonesia berdiri sendiri, kuat, dan tidak hanya menjadi hiasan dalam kehidupan laki-laki.”
Warisan perjuangan itu, meskipun tersurat jelas, sering kali terdistorsi dalam citra perempuan pasif yang terkungkung dalam pengertian feminin yang sempit. Kartini yang memperjuangkan hak perempuan atas tubuh, suara, dan eksistensi mereka seringkali hilang di balik bayangan kebaya dan sanggul. Kenyataan ini tidak hanya terlihat dalam sejarah, tetapi juga dalam banyak kisah yang kini terungkap, seperti yang terjadi pada pekerja sirkus yang terperangkap dalam sistem yang membungkam mereka, memaksa menanggung penderitaan tanpa bisa melawan. Hal tersebut adalah pengingat bahwa hingga hari ini, perempuan masih berjuang untuk mendapatkan tempat yang layak, untuk hidup dengan martabat yang seharusnya mereka terima.
Sebagai masyarakat dan perempuan, kita mewarisi semangat perjuangan Kartini hari ini lebih dari sekadar lambang kelembutan. Semangat itu adalah seruan untuk berbicara, berdiri tegak, dan menuntut hak-hak kita. Kartini hari ini adalah mereka yang melawan penindasan, yang berani bersuara meski dunia berusaha membungkam mereka. Mereka ialah perempuan yang tidak takut menuntut hak untuk hidup dengan martabat, meskipun suara mereka bisa mengguncang kenyamanan yang ada.
Namun, dalam perjalanan ini, kita tak jarang terjebak dalam persaingan antar sesama perempuan, berusaha memenuhi ekspektasi luar yang justru memperburuk sistem yang membatasi kebebasan kita. Tanpa disadari, kita sering lupa bahwa perempuan tidak perlu bersaing satu sama lain untuk mendapatkan pengakuan atau afirmasi. Yang lebih penting adalah saling mendukung, menghargai diri kita sendiri dan hak-hak kita sebagai perempuan.
Kartini hari ini, bukan hanya mereka yang mengenakan pakaian adat atau merayakan hari Kartini dengan simbol-simbol manis semata. Kartini hari ini adalah mereka yang berani menyuarakan kebenaran, melawan diskriminasi dan kekerasan, serta menuntut hak untuk hidup dengan martabat. Mereka adalah pewaris sejati semangat perjuangan Kartini yang sesungguhnya: perempuan yang tidak takut melawan ketidakadilan dan berbicara meskipun dunia berusaha menutup suara mereka.
Penulis: Naila
Editor: Enjat