Persimpangan Lara

Waktu menunjukkan pukul 16.00 sore terlihat seorang lelaki termenung di sudut kedai kopi langganannya, Arman sedang menunggu kekasihnya disertai wajah yang  terlihat cemas.

Selama 30 menit ia hanya mengaduk coklat panas miliknya yang sekarang mulai dingin, pikirannya mulai melayang memikirkan hal yang membuatnya dilema, ia dihadapkan dengan dua pilihan. Ikuti kata Ibu soal perjodohan, atau kata hatinya dengan melanjutkan hubungan bersama Nina, kekasihnya. Ia takut dikenal sebagai anak durhaka jika terus membantah apa kata Ibunya. Namun, ia juga tidak bisa menerima perjodohan ini.

“Hei, Man! Maaf ya kamu nunggu lama,” suara itu menyadarkan lamunannya, akhirnya perempuan yang ia tunggu datang.

Arman berdiri menarik kursi untuk Nina “Eh, iya Na. Tidak apa-apa, silakan duduk,” ucapnya sambil memberikan buku menu.

“Kenapa tiba-tiba ngajak ketemu? Oh iya besok kita jadi ya, bertemu Ibu Bapakmu?” tanya Nina dengan semangat.

Sebenarnya besok adalah hari yang Nina tunggu-tunggu. Seminggu yang lalu, Arman berkata bahwa kedua orang tuanya mengajak mereka bertemu. Waktu itu Nina merasa sangat senang. Setelah penantian lama, Arman akhirnya mau memperkenalkan Nina pada kedua orang tuanya.

Nina terlihat kesal melihat Arman yang tidak merespon pertanyaannya. “Man, kok diam saja? Kamu kenapa? Ada masalah ya? Coba cerita sama aku,” tanya Nina.

Lidah Arman kelu, badannya membeku. Ia semakin bingung untuk menjelaskan apa yang sedang ia hadapi sekarang. Ia takut menyakiti hati perempuan yang duduk di depannya. Ia takut Nina merasa kecewa dan merasa sia-sia dengan hubungan yang mereka jalani selama empat tahun terakhir.

“Na, maaf ya aku berbohong padamu. Sebenarnya kedua orang tuaku tidak mau bertemu kamu,” jawab Arman.

Mendengar apa yang keluar dari mulut kekasihnya, Nina merasa dikhianati karena Arman tidak berbicara sesungguhnya kepada dirinya.

“Kenapa begitu Man? Waktu itu kamu bilang kalau Ibumu sudah tahu tentang hubungan kita, dan mau mencoba menerimaku,” tanya Nina lirih.

Arman terlihat bingung dengan rentetan pertanyaan dari Nina, ia bingung harus bagaimana. Selama ini ia telah memperjuangkan Nina agar orang tuanya bisa merestui hubungan mereka.

“Selama ini aku sudah berjuang agar hubungan kita direstui, tapi nyatanya Ibu tetap mau aku menikah dengan wanita pilihannya,” jawab Arman.

Hati Nina remuk mendengar kenyataan bahwa orang tua kekasihnya tidak merestui hubungan mereka, impian untuk menjalani hubungan pernikahan dengan Arman yang sudah ia bangun runtuh seketika.

“Lalu hubungan kita bagaimana Man? Bagaimana dengan impian kita? Apakah aku harus menguburnya dalam-dalam? Tanya Nina sambil menyeka air matanya.

“Aku bingung, aku sangat mencintaimu Na. Aku tidak mau mengubur impian kita. Namun, aku juga tidak bisa menolak permintaan Ibu,” jawab Arman meyakinkan.

Mereka terdiam. Sibuk dengan apa yang ada di kepalanya masing-masing. Sesekali Nina megusap air matanya yang tidak bisa ia bendung. Arman melirik ke arah Nina, ia merasa bersalah dengan kejadian hari ini.

“Na, jangan nangis. Aku minta maaf Na. Maaf, aku gak berhasil memperjuangkan hubungan kita,” ucap Arman sambil memegang tangan Nina.

“Jadi ini alasan kamu ajak aku ketemu?” tanya Nina.

“Iya Na, aku berpikir sepertinya lebih baik aku bicara sekarang soal ini. Sebelum hubungan kita semakin jauh,” jawab Arman.

“Semakin jauh katamu? Ini sudah cukup jauh Man, kemarin kemana saja? Saat aku tanya soal kejelasan hubungan kita? Aku cukup kecewa, dan menurutku kamu seorang yang pengecut!” ucap Nina penuh amarah.

“Aku terima apapun yang kamu pikirkan tentangku,” ucap Arman.

“Ayah ibuku selalu menunggu kejelasan hubungan kita, empat tahun bukan waktu yang sebentar Man!” ucap Nina dengan nada tinggi.

“Minggu depan, aku akan bertemu dengan wanita itu untuk pertama kalinya,” ucap Arman.

“Silakan, tapi akhiri dulu hubungan kita,” ucap Nina.

“Na, aku masih sayang sama kamu. Aku mau kita begini aja, aku belum rela kamu pergi,” kata Arman.

“Kamu benar-benar egois Man, kamu hanya memikirkan dirimu!” ucap Nina semakin emosi

“Na…..” Arman melirih

“Aku sudah tidak punya banyak waktu Man, aku rasa waktuku selama empat tahun sudah cukup terbuang sia-sia,” ucap Nina.

“Maaf Na, maaf,” Arman memohon.

“Baiknya, kita sudahi obrolan dan hubungan ini. Silakan lanjutkan hidupmu bersama wanita pilihan Ibumu. Aku akan kembali menata hidupku tanpa kamu,” jelas Nina.

Arman diam, tidak menghiraukan apa yang nina ucapkan barusan. Ia merasa benar-benar payah. Karena tidak bisa memperjuangkan cintanya.

“Aku rasa, semua ini sudah cukup jelas. Terima kasih untuk waktu empat tahunnya Man, bagaimanapun kamu akan selalu punya ruang dalam hatiku,” ucap Nina sambil beranjak dari kursinya.

Sudah dua jam mereka duduk di kursi sudut ruangan kedai ini. Akhirnya Nina pamit.

“Aku pulang ya, Man,” ucap Nina sambil berjalan ke arah pintu.

Perempuan itu melangkah keluar, dan hilang dari pandangan Arman. Hatinya langsung kosong, ia merasa separuh jiwanya pergi.

Arman menatap ke arah jendela, menyadari hari sudah gelap dan kini ia sendirian tanpa Nina, perempuan yang ia cintai. Dia lebih memilih wanita pilihan Ibunya yang sama sekali tidak ia cintai.

“Tuhan, mengapa kau uji diri ini dengan hal yang begitu sulit? Di persimpangan lara aku dilema,” ucapnya dalam hati.

Penulis: Mg_Azzahra
Editor: Een

- Advertisment -

BACA JUGA