Seperti angin menerjang tubuhku habis-habisan
Aku berdiri di bawah pohon nan rindang
Menatap langit nan peluh, juga memilu
Isak tak dapat aku tawar
Disini, sudut kota memihak rindu
Menyapa pulang yang semu
Ingin memeluk namun tak dapat temu
Begitu puisi yang Raya tulis dalam diary kecil yang ia genggam. Dengan pasang foto yang melekat pada kertas, seorang dara dengan lelaki tua beruban. Sungguh, gemeritik jari-jemari Raya seakan tak dapat menopang. Getaran bibir seakan memberi tahu dunia, bahwa ada kata yang tak dapat ia ucapkan.
“Raya rindu papah?” Perempuan setengah paruh baya itu tiba-tiba muncul dan duduk di sebelah Raya, dengan tangan yang mencoba merangkul putrinya.
Di halaman rumah, Raya hanya mengangguk. Sebab untuk berucap, air sudah tergenang pada kelopak mata.
“Rindu itu adalah hal yang wajar. Tetapi, Raya ikhlas bukan?” Tanya perempuan dengan sandang Bunda.
Lagi. Raya mengangguk. Meski ikhlas tak semudah apa yang diucapkan. Banyak memori yang memutar di kepalanya. Kian berisik saat sepi mengusik.
“Lihat. Bunga matahari itu mekar dengan indah. Namun, jika kau terus terjang dia dengan air. Keindahannya akan hilang bersamaan dengan kematiannya.” Bunda menunjuk pada belasan bunga matahari yang tertanam, di taman depan rumah.
“Bunda, kenangan selalu membawaku pada renjana yang tak bisa ku bendung. Lantas aku harus bagaimana?”
Bunda tersenyum tipis, merangkul Raya lebih erat.
“Renjana itu indah, Nak. Namun, ingatlah, renjana yang terlalu deras bisa membuatmu hanyut. Kenangan memang bisa terasa begitu nyata, seolah masih ada yang harus kau capai bersamanya. Tapi itu semua sudah selesai. Sekarang, giliranmu tumbuh dan mekar, sebagaimana bunga matahari itu”
Raya menatap bunga-bunga matahari di depannya, melihat mereka berdiri tegak, menghadap mentari tanpa takut. Seolah bunga-bunga itu tahu ke mana harus menatap, ke mana harus bersandar. Meski terpaan angin datang atau hujan sesekali mengguyur, mereka tetap pada arah yang sama—menuju matahari.
“Terkadang kita harus merelakan sesuatu yang sudah pergi, Raya,” lanjut Bunda dengan suara lembut. “Mengikhlaskan bukan berarti melupakan. Tetapi memberi ruang pada kenangan untuk tinggal dengan damai, tanpa menghalangi langkahmu”
Raya menunduk, menggenggam diary kecilnya erat. Kenangan akan sosok ayah memang begitu dalam, bagai goresan yang tak lekang. Namun kata-kata Bunda seakan memberinya jalan, bahwa kerinduan dan kehilangan adalah bagian dari kehidupan, dan ia harus tetap mekar meski tanpa sosok yang dirindukan.
Sore itu, dalam keheningan yang tenang, Raya menghela napas panjang, melepas sebagian renjana yang selama ini tertahan.
Ia tahu, ayahnya selalu hidup dalam setiap langkahnya, dalam setiap bunga matahari yang bermekaran di hati. Raya teringat akan satu hal, patah kata terakhir yang lelaki tua itu ucapkan. Sebelum benar ia meninggalkan.
“Jadilah anak yang selalu menebarkan senyuman indah, tak peduli seberapa kuat orang mencoba membuatmu terpukul, kau harus terlihat bahagia” suara sosok laki-laki kian terngiang dalam telinga Raya.
Huft, rasanya sesak sekali melihat Raya mengingat hal itu. Namun hari ini, 12 November, semua orang di dunia merayakan hari ayah bersama. Keinginan akan memeluknya pasti selalu ada.
Dan rekaman akan kenangan itu selalu berputar pada otaknya. Dalam diary kecilnya, bahkan kata-kata ayah tersimpan rapi, kata-kata yang membuatnya selalu kuat meski seringkali rindu menghimpitnya.
“Papah pasti selalu ingin melihat aku bahagia, bukan?” Tanya Raya dengan penuh optimis. Pelan, menyeolahkan laki-laki itu ada disekitarnya.
Bunda yang masih di sisinya, mengangguk. “Bahagia seorang anak adalah hadiah terindah untuk setiap orang tua. Kau hidup dan tumbuh sebagaimana ia inginkan, maka itulah caramu mencintainya”
Ucapan Bunda teramat menenangkan. Membuat Raya hanyut dalam pelukan. Tak ingin lepas, dan tak ingin di lepaskan. Raya hanya butuh dikuatkan, saat cinta pertamanya telah lebih dulu meninggalkan.
Setiap anak, selalu punya ruang kecil di hatinya untuk sekadar mengingat dan merindukan hal-hal indah saat masih bersama.
“Selamat hari ayah, untuk ayah yang selalu ada dalam ingatan, namun tak bisa aku genggam” ucap Raya dengan senyum termanisnya, menatap foto yang terpasang pada kertas.
Penulis : Lydia
Editor : Nazna