Umat muslim kini sedang menghadapi fenomena baru dalam beragama. Seiring dengan perkembangan teknologi yang kian pesat, maka arus informasi pun semakin mudah didapat. Namun sayang beribu kali sayang, sebagian dari kita tidak mampu mem-filter informasi tersebut. Dahulu, para orang tua kita akan menyuruh anaknya tinggal di pesantren atau minimal belajar pada orang yang dianggap alim agar kita mempunyai pemahaman terhadap agama yang kita anut (Tafaqquh Fii al-Diin), atau dalam bahasa kampung saya, ‘sing bisa ngaji-lah.’
Dalam konteks kekinian, belajar agama menjadi semakin pragmatis. Tentu hal ini juga patut disyukuri. Kita hanya menggerakkan jari, lalu dengan mudah kita akan menemukan website-website pemuas hasrat beragama kita. Celakanya, hanya membaca website tertentu, paradigma terbentuk dan opini kita tergiring, lalu dengan mudahnya kita melabeli seseorang yang tidak sepaham dengan sebutan sesat atau bahkan kafir. Ingat, hanya dengan Rowaahu website, kita lantas haqqul yakin si anu kafir.
Mungkin hal tersebut bisa dipahami, karena website pemuas hasrat beragama tadi mengutip ayat suci untuk dijadikan dalil. Mereka umumnya, memilih dan memilah ayat dalam kitab suci sebagai pendukung argumennya. Lalu tanpa kebijaksanaan, mereka anggap penafisrannyalah yang paling benar dan final. Tentu ini berbahaya, karena bisa membatasi maksud dan tujuan Tuhan. Maksud dan tujuan Tuhan yang terkandung dalam kitab-Nya sangatlah luas dan tanpa batas, sebagaimana yang dikatakan Abdullah Sahal al-Tustari, “ Andai hamba Tuhan dianugerahi seribu mengerti makna untuk satu huruf al-Qur’an, dia tak bisa menjangkau seluruh tanda kehendak Tuhan yang ditinggalkan dalam kitab-Nya.”
Ini adalah refleksi kesedihan saya, karena semakin hari, agama dijadikan alasan untuk berpecah belah. Tuhan, kitab suci, dan nabinya sudah jelas-jelas sama, tapi karena alasan yang remeh-temeh, label sesat dan kafir tanpa ampun kerap disandangkan pada seorang muslim yang lain. Bahkan seseorang yang ilmu agamanya hanya Rowaahu website, berani mengafirkan ulama yang sudah melahap banyak kitab kuning, hijau, putih, pokoknya kitab yang rupa-rupa warnanya. Bahkan untuk membacanya saja, diperlukan kaidah yang lumayan rumit.
Saya jadi ingat kata-kata RA (Radhiyallahu Anha) Kartini, “Ya Tuhan, kadang-kadang saya berharap, alangkah baiknya jika tidak pernah ada agama. Orang-orang seibu sebapak ancam-mengancam berhadap-hadapan karena berlainan cara mengabdi kepada Tuhan yang Maha Esa.”
Padahal agama adalah nasihat, agama bukan untuk hujat-menghujat.
Agama adalah berbuat baik. Agama itu mencintai, melayani, berpikir, dan rendah hati. [Uqel/SiGMA]