Notice: Fungsi _load_textdomain_just_in_time ditulis secara tidak benar. Pemuatan terjemahan untuk domain td-cloud-library dipicu terlalu dini. Ini biasanya merupakan indikator bahwa ada beberapa kode di plugin atau tema yang dieksekusi terlalu dini. Terjemahan harus dimuat pada tindakan init atau setelahnya. Silakan lihat Debugging di WordPress untuk informasi lebih lanjut. (Pesan ini ditambahkan pada versi 6.7.0.) in /home/u642071575/domains/lpmsigma.com/public_html/wp-includes/functions.php on line 6121
Cahaya Ramadan di Pinggir Jalan - LPM SiGMA
BerandaSastraCahaya Ramadan di Pinggir Jalan

Cahaya Ramadan di Pinggir Jalan

Aku menatap Elang yang masih menunduk, tangannya mencengkeram bajunya yang lusuh. Kata-katanya tadi masih terngiang di kepalaku. “Kalau aku mati, apakah aku akan bertemu ibu lagi?”

Dada ini terasa sesak. Aku ingin mengatakan bahwa dia tidak akan mati. Aku ingin meyakinkannya bahwa dunia ini masih memiliki tempat untuk kami. Tapi, bagaimana aku bisa berkata seperti itu, kalau aku sendiri tidak yakin?

Azan maghrib masih berkumandang dari kejauhan. Aku menarik napas panjang, lalu berdiri. “Ayo, Elang kita cari masjid,” kataku.

Elang menatapku ragu. “Untuk apa?”

“Aku ingin salat”

Aku sendiri tidak ingat kapan terakhir kali aku benar-benar bersujud dengan khusyuk. Namun, malam ini, aku ingin berbicara dengan-Nya. Mungkin, hanya itu satu-satunya tempat aku bisa mengadu tanpa takut diusir atau ditendang.

Kami berjalan ke masjid kecil di ujung jalan. Lampunya temaram, hanya ada beberapa orang yang salat berjamaah. Aku dan Elang mengambil wudu di keran luar, merasakan air dingin mengalir di kulit kami. Setelahnya, kami masuk dan ikut salat.

Saat sujud terakhir, aku terdiam lama. Aku ingin berdoa, tapi entah mengapa dadaku begitu sesak. Hanya ada satu kalimat yang sanggup keluar dari bibirku, “Ya Allah, jangan tinggalkan kami.”

Selesai salat, aku melihat Elang tertidur di pojokan masjid. Wajahnya terlihat lebih damai, meskipun tubuhnya masih ringkih. Aku duduk di sampingnya, membiarkan punggungku bersandar ke dinding.

Saat itulah seorang lelaki tua dengan jenggot putih menghampiri kami.

“Kalian anak jalanan?” tanyanya lembut.

Aku mendongak kaget. Ah, bapak itu, bapak dengan gerobak yang memberi nasi pekan lalu. Aku menelan ludah tersenyum kaku, lalu mengangguk.

Lelaki itu tersenyum. “Kalian lapar? Saya ada kurma dan roti.”

Mataku melebar. Lelaki itu lalu mengeluarkan beberapa butir kurma dan sepotong roti dari kantongnya. Aku membangunkan Elang pelan, lalu kami menyantap makanan itu dengan lahap.

“Kalian tahu, Rasulullah bersabda, “Barang siapa yang tidak menyayangi manusia, maka Allah tidak akan menyayanginya.” (HR. Bukhari & Muslim). Lelaki tua itu menatap kami lembut. “Allah tidak akan meninggalkan kalian, Nak. Bersabarlah.”

Aku terdiam. Kata-kata bapak itu selalu menenangkan, tapi juga menyakitkan bagiku. Aku sudah bersabar, lalu kapan semuanya akan berubah?

“Apa kalian punya keluarga?” tanyanya.

Aku menggeleng. “Saya tidak tahu… Elang juga tidak punya siapa-siapa.”

Lelaki itu menghela napas. “Maukah kalian ikut ke rumah saya?”

Aku dan Elang berpandangan. Tawaran itu terdengar seperti mimpi. Setelah bertahun-tahun hidup di jalanan, kini ada seseorang yang menawarkan tempat untuk pulang?

Tapi, apakah kami berhak menerimanya?

Bersambung…….

Penulis: Frida
Editor: Enjat

- Advertisment -

BACA JUGA