BerandaNarasi KritisKleptomania Tingkat Dewa, Penyakit yang Mengakar di Kalangan Penguasa

Kleptomania Tingkat Dewa, Penyakit yang Mengakar di Kalangan Penguasa

Ada sekelompok orang, yang tampaknya memiliki kesulitan luar biasa untuk menahan diri dari mengambil sesuatu yang bukan haknya. Bukan karena mereka kekurangan, bukan pula karena mereka butuh. Ini murni dorongan, kebiasaan, dan mungkin penyakit yang sudah terlalu lama dibiarkan tumbuh subur.

Jika penderita kleptomania pada umumnya mencuri karena dorongan psikologis yang tak bisa mereka kendalikan, para pejabat korupsi justru menikmatinya. Mereka tidak hanya sekadar mencuri, tetapi merancang skema yang membuatnya terlihat legal. Dari penggelembungan anggaran, rekayasa proyek, hingga menyusun regulasi untuk melindungi kepentingan pribadi, semua dilakukan dengan cermat, rapi, dan penuh perhitungan.

Kas negara bagi mereka bukan sekadar anggaran untuk rakyat, tapi ladang yang selalu siap dipanen. Setiap proyek, setiap celah hukum, merupakan peluang untuk memuaskan keserakahan yang tak pernah benar-benar terpuaskan.

Jika kleptomania biasa bisa diobati dengan terapi perilaku, bagaimana dengan kleptomania yang sudah menjalar hingga ke sistem birokrasi? Mungkinkah ada vaksin anti-korupsi, atau kita harus belajar hidup berdampingan dengan penyakit ini?

Fenomena ini bukan lagi sekadar gangguan psikologis individu, tetapi sudah menjadi sistem yang mengakar. Jika kleptomania biasa terjadi secara impulsif, kleptomania tingkat dewa dilakukan dengan penuh kesadaran. Mereka membangun jaringan, memanfaatkan celah hukum, dan mengontrol mekanisme pengawasan agar tetap aman. Apa yang dimulai dari penggelembungan kecil dalam anggaran, perlahan-lahan berkembang menjadi penyelewengan berskala masif menguasai proyek-proyek infrastruktur, mengatur kebijakan energi, hingga bermain dalam sektor keuangan negara.

Tahun 2025 menjadi saksi bagaimana penyakit ini terus berkembang tanpa hambatan. Salah satu skandal terbesar yang mencuat adalah dugaan korupsi dalam proyek kilang minyak Pertamina, yang nilainya mencapai kuadriliun rupiah, angka yang begitu besar hingga sulit untuk dibayangkan. Selain itu, kasus korupsi di Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) mengungkap bagaimana “uang zakat” dijadikan tameng untuk menarik fee ilegal, menyebabkan kerugian negara sebesar Rp. 11,7 triliun. Tak ketinggalan, penyelewengan minyak curah dalam program minyak goreng bersubsidi “Minyak Kita” semakin memperlihatkan betapa korupsi bukan lagi sekedar tindakan individu, melainkan sudah menjadi pola kerja yang sistematis.

Dari perspektif psikologi, perilaku ini bisa dijelaskan melalui Teori Fraud Triangle yang dikembangkan oleh Donald Cressey. Ada tiga faktor utama yang mendorong seseorang melakukan korupsi yaitu karena adanya tekanan, kesempatan, dan rasionalisasi. Tekanan muncul dari tuntutan gaya hidup dan kebutuhan politik. Kesempatan hadir karena lemahnya sistem pengawasan yang bisa dimanipulasi. Sementara rasionalisasi menjadi tameng moral, menjadikan para pelaku merasa apa yang mereka lakukan adalah sesuatu yang wajar.

Lebih jauh, penelitian “Analisis Neuropsikologik Terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi” oleh Boniy Taufiqurrahman (2019) menunjukkan bahwa korupsi dapat memicu _dopamine rush_, sensasi euforia yang serupa dengan kecanduan judi atau narkoba. Semakin tinggi jabatan, semakin tinggi pula kemungkinan korupsi.

Serotonin pada otak mengatur setiap perilaku seseorang, pada konteks koruptor, telah terjadi kerusakan pada hormon tersebut. Bagian limbik mengatur perilaku dan motivasi. Adanya chance menyebabkan orang melakukan korupsi. Pada bagian gage frontal terjadi kerusakan dan menyebabkan kehilangan perilaku serta aspek moralitas. Hal itu juga sejalan dengan seberapa sering mereka berhasil lolos, semakin sulit untuk berhenti. Akibatnya, perilaku ini terus berulang, berkembang, dan diwariskan kepada generasi berikutnya.

Ironisnya, meskipun reformasi birokrasi lebih sering digembar-gemborkan, hal tersebut hanya jadi jargon politik ketimbang solusi nyata. Hukuman bagi pelaku korupsi tetap ringan. Banyak yang masih bisa menikmati hidup mewah setelah keluar dari penjara, bahkan beberapa kembali menduduki jabatan strategis.

Pendidikan antikorupsi pun terbukti belum cukup efektif untuk mengubah mentalitas generasi penerus. Sementara itu, masyarakat pun dihadapkan pada dilema: terus melawan meskipun sistem tidak mendukung, atau sekadar menjadi penonton yang semakin kehilangan harapan.

Jika tidak ada perubahan fundamental, kleptomania tingkat dewa akan tetap menjadi wabah dalam birokrasi dan pemerintahan. Mungkin pertanyaannya sekarang bukan lagi bagaimana memberantas korupsi, tetapi berapa lama lagi kita bisa bertahan hidup di tengah sistem yang seperti ini?

Penulis : Naila
Editor : Lydia

- Advertisment -

BACA JUGA