Oleh: Ardhya Naufal Fahri, Mahasiswa Fakultas Syariah
Dewasa ini kita ketahui bahwa gejolak politik dan antusiasme mahasiswa dalam menghadapi
tahun politik kampus, intensitasnya kian meningkat setiap harinya. Mulai dari alur administrasi yang telah di lalui oleh beberapa kandidat calon pemangku jabatan sampai pada upaya-upaya
kampanye yang terus digalakan rupanya terus bersahutan setiap harinya dari tiap-tiap kubu.
Sejalan dengan itu Organisasi Mahasiswa (ORMAWA) UIN Sultan Maulana Hasanudin Banten
pun tidak luput terhadap pengawalannya pada kontestasi demokrasi kampus tersebut. KPU-M dan
BAWASLU yang telah di bentuk berupaya selalu dalam mengawal agar kegiatan ini terlaksanan
dengan baik dan penuh dengan nuansa keadilan.
Namun, tiada gading yang tak retak. Polemik-polemik dewasa ini kian marak bermunculan.
Sebetulnya polemik yang muncul saat gejolak politik memuncak ialah sebuah keniscayaan yang
tak terhindarkan. Akan tetapi hal ini tidak bisa kita anggap remeh. Sebagaimana rekan-rekan mahasiswa telah ketahui bahwa “Politiae legius non leges politii adoptandae” artinya politik
harus tunduk pada hukum, bukan sebaliknya.
Oleh karenanya mahasiswa dewasa ini perlu berdaulat atas dirinya masing-masing. Perlu
memahami seluruh polemik tersebut dari berbagai pasang mata dan perspektif yang ada. Ini menjadi tuntutan bagi seluruh mahasiswa, khususnya bagi Mahasiswa UIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten yang dalam hal ini isunya sedang kita bahas bersama.
Jangan sampai polemik-polemik dan propaganda yang ada mampu menggoyahkan niat kita untu
terus membangkitkan “Sang Idealis” dalam diri seorang mahasiswa. Polemik dan propaganda
tersebut dibuat tiada lain ialah dalam rangka menjadikannya “Mobilisasi Orkestrasi” terhadap
isu-isu yang sebetulnya lebih harus kita berikan tendensius terhadapnya.
Seperti salah satu kasus pencemaran nama baik salah seorang “Tim Justicia” yang beberapa
waktu ini videonya sedang marak dipertontonkan oleh berbagai kalangan. Coba kita bayangkan
bagaimana bila dalam posisi seorang “Tim Justicia” yang mana memangku beban moril yang besar, diamanahi satu amanah yang berat? Akankah ia diam saja bila ada ketertindasan di depan matanya? Ini masalah perspektif kawan, kita perlu membuka mata kita lebar-lebar dan melanggengkan kerendehan hati dalam setiap pandangan kita pada suatu kasus.
Seorang “Tim Justicia” yang juga seorang “Guru”, seorang “Muallim” yang mencoba menegakkan keadilan dianggap mengintimidasi dan tidak netral. Padahal sudah kita ketahui bersama bahwa peran yang beliau bawa ialah berat. KPUM dan segala bentuk demokrasi yang berjalan ialah tanggung jawab beliau. Sudah barang pasti apabila kita dalam posisinya akan segera mengambil tindakan tegas untuk membenahi “besi yang bengkok”.
Beliau hanya menegaskan bahwa telah ada Berita Acara yang keluar dari pimpinan pengawas
pemilihan umum pada ranah Fakultas. Oleh karena beliau yang pada saat ini saya sebut dengan “Sang Idealis Sejati” ialah berkedudukan sebagai “Tim Justicia” maka berbicara pada aparatur yang terkait. Hanya karena bahasa beliau yang notabenenya penduduk Kota Serang bersuara
lantang dan tegas mereka yang biasa lembut menyalah artikan dan berperspetif lain. Hal ini
menjadi pelajaran besar bagi kita semua.
Maka kita sebagai seorang mahasiswa yang sadar akan hukum perlulah mengkritisi dengan analisis yang dalam dan pemahaman yang luas. Bahwa pantaskah sebuah lembaga pengawas yang wajib melaporkan segala tindak tanduknya dan yang bebannya telah dipikul oleh beliau sekarang malah mencoba menjatuhkan dan bahkan memberi stample pada beliau dengan berbagai kata yang penuh kebencian? Semestinya hal ini sudah bisa dipahami oleh rekan-rekan sekalian.
Selanjutnya perlu kita pahami bersama dengan kacamata yang luas dan pemahaman yang mendalam ialah perkara sistem birokrasi dan kelembagaan yang sama-sama kita perlu benahi.
Sebagai mahasiswa kita perlu membuka mata akan hal itu. Bahwa setiap sistem pemerintahan
baik pada kenyataan bernegara maupun pada saat menjalani miniatur state pasti akan terus
mengikat pada Sistem Hukum Hierarkies.
Dimana teori ini pertama kali dicetuskan oleh Hans Kelsen yang menyatakan Hierarkis ialah sistem anak tangga yang memiliki kaidah berjenjang. Apapun yang telah diperintahkan oleh Superior maka wajib diamini oleh penerima perintah yakni Inferior. Dalam konteks ini berlaku pula pada KPUM Universitas dan KPUM-F yang harus menjalani sifat Hierarkis tersebut.
Adapun kesalahan-kesalahan seperti kesalahan nomenklatur yang dewasa ini informasinya padat
merayap pada telinga kita masing-masing seharusnya bisa diselesaikan dengan baik secara
keinternalan. Bukan malah menimbulkan kegaduhan dan melakukan tindakan-tindakan yang terkesan menolak dan acuh.
Maka atas hal-hal tersebut kita semua perlu mengintropeksi diri kita terlebih dahulu agar tidak
melakukan hal yang sama kemudian menilai kelalaian tersebut dengan penuh analisis dan kritis.
Apakah hal tersebut telah sesuai? Atau hal tersebut perlu di koreksi? Atau mungkin perlu samasama kita adili?
Oleh karenanya sebelum mengakhiri artikel ini penulis berpesan kontestasi politik kampus
seharusnya menjadi “sajadah” yakni istilah yang penulis gunakan dalam menggambarkan sarana
dalam mencari ridha Allah SWT dan memperjuangkan kebaikan bersama. Jangan sampai kontestasi ini menjadi “haram jadah” karena menjadi sarana untuk merealisasikan kepentingan segelintir kelompok dan memenuhi ambisi pribadi.
Dengan menghayati dan mengevaluasi hal-hal diatas kita sama-sama berharap bahwa kita semua
mampu menjadi pribadi yang “Berdaulat atas diri” terlebih dalam hal-hal politik. Semoga kita semua tidak mudah terpengaruh dan tidak mudah gusar atas propaganda dan isu-isu yang sengaja dibuat agar kondisi kian memanas.