BerandaSuara MahasiswaPetak Umpet Efisiensi Anggaran

Petak Umpet Efisiensi Anggaran

Oleh: Ikhlas – Mahasiswa Fakultas Syariah

Saat ini, Indonesia dihidangkan dengan skenario klasik yakni efisiensi anggaran yang diklaim demi kemakmuran rakyat, tapi ujung-ujungnya hanya jadi ajang manipulasi instansi dan lembaga demi kepentingan segelintir elit. Mahasiswa, buruh, dan rakyat kecil dipaksa menelan kepahitan, sementara para penguasa masih bisa menikmati kemewahan tanpa terusik.

Pemerintah pusat berkoar soal pemangkasan anggaran untuk menghilangkan pengeluaran yang katanya tidak perlu. Dalihnya? Agar anggaran lebih tepat sasaran. Namun, ketika kebijakan ini turun ke daerah dan instansi lainnya, yang terjadi justru kebingungan massal. Anggaran dipangkas bukan dari sektor yang sebenarnya boros, tetapi justru dari hal-hal yang langsung menyentuh hajat hidup masyarakat. Beasiswa mahasiswa terancam, kegiatan akademik dibatasi, fasilitas publik terbengkalai, sementara di sisi lain, pengadaan tempat tidur mewah dan gaya hidup pejabat tetap aman sentosa.

Apakah ada koordinasi yang jelas antar instansi? Tentu saja tidak. Yang ada hanyalah permainan saling lempar tanggung jawab. Pemerintah pusat menyalahkan daerah, daerah menyalahkan instansi, dan instansi menyalahkan keadaan. Alhasil, rakyat yang sudah lelah bekerja justru semakin dicekik. PHK massal terjadi di berbagai sektor, kegiatan mahasiswa semakin dipersulit, dan kreativitas anak bangsa dipaksa mandek dengan dalih penghematan. Ironisnya, efisiensi yang digaungkan hanya berlaku bagi rakyat kecil, sementara kantong pejabat tetap gendut dengan segala tunjangan dan proyek yang entah manfaatnya untuk siapa.

Jika efisiensi anggaran benar-benar ingin diterapkan, seharusnya yang pertama kali dikorbankan adalah gaya hidup pejabat, bukan kepentingan masyarakat. Potong tunjangan yang tidak masuk akal, batalkan proyek-proyek absurd yang hanya menguntungkan segelintir orang, dan hentikan pemborosan dengan dalih fasilitas pejabat. Tapi nyatanya, yang terjadi justru sebaliknya. Ketika ada pemangkasan, rakyat yang pertama kali dikorbankan, sementara kaum elit justru makin nyaman dalam absurditas kebijakan yang mereka buat sendiri.

Maka pertanyaannya: di mana sebenarnya letak kesalahan ini bersembunyi? Apakah di balik meja rapat para pejabat yang terlalu sibuk menghitung untung rugi untuk diri sendiri? Ataukah di dalam laporan keuangan yang dipenuhi angka-angka manipulatif demi membenarkan kebijakan mereka?

Dan lebih penting lagi, kapan kebenaran akan terungkap? Atau mungkin, seperti biasa, rakyat hanya bisa menunggu sambil melihat para penguasa terus bermain petak umpet dengan moralitas mereka?

- Advertisment -

BACA JUGA