BerandaUncategorizedProsedur Melamar Pekerjaan di Indonesia, Mempermudah atau Mempersulit Rakyat?

Prosedur Melamar Pekerjaan di Indonesia, Mempermudah atau Mempersulit Rakyat?

Di era digital yang serba mudah, seharusnya proses melamar kerja menjadi lebih mudah dan efisien. Namun, realita nya di Indonesia justru terbalik, hingga saat ini prosedur melamar kerja atau rekrutmen masih berbelit dan tidak efektif. Apakah sistem yang ada benar-benar bertujuan untuk menyeleksi kandidat terbaik, atau justru semakin mempersulit bagi pencari kerja?

Hingga kini, masih banyak perusahaan menerapkan proses melamar kerja yang panjang dan bertele-tele, dengan tumpukan dokumen administratif yang tidak relevan serta budaya “orang dalam” yang masih kuat. Ironisnya, sistem ini terus berulang tanpa ada perubahan yang signifikan, pada akhirnya angka pengangguran di Indonesia semakin tinggi.

Alih-alih berfokus pada keterampilan dan pengalaman, banyak perusahaan lebih mengutamakan kelengkapan administratif yang sering kali tidak berkaitan langsung dengan pekerjaan yang dilamar.

Bahkan, beberapa perusahaan mencantumkan persyaratan yang tidak masuk akal, seperti batasan usia, tinggi badan, atau status pernikahan, yang seolah-olah menjadi faktor penentu kelayakan seseorang untuk bekerja. Padahal, kriteria semacam ini sering kali tidak relevan dengan pekerjaan yang dilakukan seorang pelamar.

Mengutip dari jurnal berjudul “Peran Rekrutmen dan Seleksi SDM Terhadap Kualitas Lembaga,” karya Tengku Darmansah dkk., proses rekrutmen dan seleksi yang tidak efektif dapat berdampak negatif karena tidak hanya membuang waktu, tetapi juga menghambat perusahaan dalam mendapatkan kandidat yang berkualitas.

Salah satu contoh nyata dari ketidakefisienan sistem rekrutmen di Indonesia adalah keharusan melampirkan berbagai dokumen administratif sejak awal, seperti fotokopi KTP, KK, SKCK, surat keterangan sehat, dan pas foto dalam berbagai ukuran. Hal ini berbeda dengan negara maju, seperti Amerika dan negara-negara di Eropa, dokumen ini baru diminta setelah seseorang dinyatakan diterima, ini menunjukkan bahwa sistem rekrutmen di Indonesia masih birokratis dan kurang efisien.

Selain birokrasi yang berbelit, praktik nepotisme dan jalur “orang dalam” masih menjadi fenomena yang mengakar dalam sistem melamar kerja di Indonesia. Tidak jarang, lowongan kerja hanya dijadikan formalitas karena posisi tersebut sebenarnya sudah disiapkan untuk seseorang yang memiliki koneksi dengan pihak internal perusahaan.

Akibatnya, banyak pelamar yang berkompeten tersingkir hanya karena tidak memiliki akses “orang dalam” atau koneksi. Dampaknya tidak hanya merugikan pencari kerja yang memenuhi kualifikasi, tetapi juga menurunkan produktivitas perusahaan, karena tenaga kerja yang direkrut melalui jalur koneksi belum tentu memiliki kompetensi yang baik.

Di tengah sistem rekrutmen yang kompleks dan tidak transparan, muncul pula fenomena penipuan berkedok lowongan kerja. Maraknya penipuan berkedok rekrutmen kerja ini semakin meresahkan masyarakat. Modus yang sering digunakan adalah meminta calon pelamar untuk membayar sejumlah biaya administrasi dengan janji akan diterima bekerja.

Namun pada nyatanya, pelamar tidak mendapatkan kejelasan mengenai status lamaran mereka, bahkan sering kali tidak mendapatkan pekerjaan yang dijanjikan. Hal ini semakin memperburuk keadaan, karena bukan hanya prosedur yang sudah berbelit, tetapi juga banyak pelamar yang akhirnya menjadi korban penipuan.

Yang lebih memprihatinkan, banyak perusahaan tidak memberikan kejelasan mengenai status lamaran setelah seleksi berlangsung. Tidak sedikit pelamar yang harus menunggu berbulan-bulan tanpa adanya informasi apa pun. Akibat kurangnya transparansi ini, membuat proses rekrutmen menjadi semakin melelahkan dan penuh ketidakpastian bagi para pencari kerja.

Jika Indonesia benar-benar ingin menciptakan tenaga kerja yang lebih kompetitif dan adil, reformasi sistem rekrutmen seharusnya menjadi prioritas. Administrasi yang tidak perlu sebaiknya dikurangi, seleksi semestinya lebih berbasis keterampilan dan pengalaman, serta transparansi dalam proses penerimaan harus diperbaiki agar tidak mempersulit rakyatnya di Negeri sendiri.

Penulis: Frida
Editor: Lydia

- Advertisment -

BACA JUGA