Raden Ajeng Kartini bukan sekadar tokoh emansipasi perempuan. Ia juga seorang pemikir tajam yang menentang sistem feodalisme yang membelenggu rakyat, terutama kaum perempuan dan masyarakat kelas bawah pada masa kolonial Hindia Belanda. Dalam surat-suratnya yang terkenal, Kartini terungkap sangat menaruh perhatian besar terhadap ketidakadilan sosial yang mengakar kuat dalam sistem feodal.
Feodalisme dimasa itu menjadikan status sosial sebagai penentu nilai seseorang. Bangsawan dipuja, rakyat jelata dianggap tak berharga. Perempuan dari kalangan priyayi (bangsawan) pun tak lepas dari jeratan budaya yang membelenggu. Mereka dipingit, tak boleh menempuh pendidikan tinggi, dan dipaksa tunduk pada adat yang kaku. Kartini, sebagai putri bangsawan, merasakan langsung tekanan ini. Namun alih-alih tunduk, ia memilih melawan melalui pemikiran dan tulisan.
Penolakan Kartini terhadap feodalisme juga terlihat dari sikapnya terhadap perjodohan paksa. Ia menolak dijadikan alat politik keluarga bangsawan dengan dijodohkan demi menjaga status sosial. Pada masa itu, Kartini sangat gelisah terhadap tradisi perjodohan dalam keluarga bangsawan Jawa, karena menurutnya praktik itu meniadakan suara perempuan dalam menentukan masa depannya.
Dalam buku yang berjudul “Kartini: Guru Emansipasi Perempuan Nusantara” karya Ready Susanto, menjelaskan peran penting R.A. Kartini sebagai pahlawan nasional yang berjasa besar dalam perkembangan pendidikan perempuan di Indonesia pada masa penjajahan. Kartini dipandang sebagai guru terbaik dalam emansipasi perempuan Nusantara, karena perjuangannya melalui surat-menyurat dengan sahabat-sahabat penanya di Belanda, yang mengungkapkan ketidaksetaraan pendidikan dan pengekangan adat terhadap perempuan Indonesia.
Dengan cara surat-surat tersebut, Kartini mendapatkan dukungan untuk kesetaraan perempuan dan membuka sekolah yang bernama “Sekolah Gadis” sebagai langkah nyata memajukan pendidikan perempuan.
Melalui sekolah yang ia dirikan, Kartini membuka pintu bagi perempuan dari berbagai lapisan masyarakat untuk memperoleh pendidikan. Ia ingin agar kaum perempuan bebas dari terbelenggunya budaya dan mampu berpikir mandiri, tidak lagi dilihat sebagai “anak bawang” dalam sistem sosial yang timpang.
Kartini percaya bahwa pendidikan adalah senjata paling ampuh untuk menghancurkan tembok feodalisme. Dalam pandangannya, perubahan harus dimulai dari kesadaran berpikir. Oleh karena itu, ia mengkritik bukan hanya kaum lelaki atau adat istiadat, tapi juga struktur kekuasaan yang membiarkan ketimpangan terus hidup.
Sosok R.A Kartini adalah simbol keteguhan dalam melawan sistem yang menindas. Ia menunjukkan bahwa perlawanan tidak selalu berbentuk keras, suara paling berani, justru lahir dari pena dan hati yang tak rela melihat ketidakadilan yang berkepanjangan.
Hari ini, perjuangan Kartini masih relevan. Kita tidak lagi hidup dalam sistem feodal secara eksplisit, tapi warisan budaya yang menilai orang dari status, keturunan, dan kekayaan masih terasa. Semangat Kartini adalah panggilan untuk terus menentang segala bentuk ketidakadilan struktural, dan memastikan setiap orang, tak peduli dari kelas sosial atau gender untuk berjuang mendapatkan kesetaraan yang sama.
Penulis: Frida
Editor: Salma