Baru-baru ini, band Sukatani terpaksa memberikan klarifikasi terkait lagu mereka yang berjudul “Bayar Bayar Bayar”. Dalam video tersebut, mereka meminta maaf kepada Kepolisian Republik Indonesia (Polri). Apakah ini fenomena baru? Ataukah kita sedang mengulang sejarah, ketika kritik terhadap pemerintah dianggap sebagai ancaman yang harus dibungkam?
Di masa Orde Baru, pembungkaman terhadap musisi bukanlah hal asing. Kritik sosial dalam seni dipandang sebagai ancaman terhadap stabilitas kekuasaan. Berikut adalah lima musisi yang pernah mengalami sensor dan pencekalan oleh rezim Soeharto:
1. Iwan Fals
Sebagai salah satu musisi paling vokal, Iwan Fals kerap berhadapan dengan sensor pemerintah. Lirik-lirik tajam dalam lagu-lagunya, seperti Bento dan Galang Rambu Anarki, dianggap berbahaya. Konsernya sering kali dibubarkan oleh aparat keamanan. Pada 1984, ia bahkan mengalami interogasi berulang kali akibat lirik-liriknya yang mengkritik kondisi sosial dan politik Indonesia.
Pemerintah tidak hanya melarang konsernya, tetapi juga memperketat pengawasan terhadap karya-karyanya. Bersama grup Swami dan Kantata Takwa, Iwan Fals terus menyuarakan keresahan rakyat. Namun, tekanan dari penguasa membuat distribusi albumnya dipersulit, menunjukkan betapa takutnya pemerintah terhadap kritik dalam seni. (Sumber: Tempo, 1985)
2. Koes Plus
Sebelum dikenal sebagai Koes Plus, grup ini bernama Koes Bersaudara. Mereka pernah dipenjara pada 1965 hanya karena memainkan musik rock and roll, yang kala itu dianggap sebagai simbol budaya Barat yang bertentangan dengan kebijakan anti-imperialisme Soekarno. Meskipun di era Orde Baru mereka mendapat tempat lebih luas, kebebasan mereka tetap dibatasi.
Pemerintah mengawasi karya-karya mereka dengan ketat. Lagu-lagu yang dianggap terlalu liberal atau menyuarakan kebebasan harus melewati sensor. Pembatasan ini mencerminkan paranoia rezim terhadap ekspresi yang berpotensi membangkitkan kesadaran masyarakat. (Sumber: Historia, 2017)
3. Bimbo
Grup musik Bimbo juga mengalami pencekalan. Lagu mereka, Tante Sun, dianggap menyindir istri-istri pejabat pemerintah, meskipun liriknya hanya menggambarkan realitas sosial tanpa menyebut pihak tertentu. Namun, bagi penguasa, kritik sekecil apa pun harus dibungkam sebelum berkembang menjadi keresahan masyarakat.
Akibat tekanan tersebut, Bimbo mengalami kesulitan dalam mendistribusikan lagu-lagu mereka. Media massa dikendalikan agar lagu dengan kritik tajam tidak mendapat tempat. Namun, Bimbo tetap bertahan, membuktikan bahwa seni adalah senjata yang sulit dipadamkan. (Sumber: Kompas, 1992)
4. Elpamas
Band rock asal Jawa Timur ini juga menjadi korban sensor Orde Baru. Lagu mereka, Pak Tua, dianggap sebagai sindiran langsung terhadap Soeharto, yang enggan turun dari jabatannya meski telah berkuasa selama puluhan tahun. Akibatnya, lagu ini dilarang tayang di televisi nasional, dan upaya distribusinya pun dihambat.
Meskipun mendapatkan tekanan, Pak Tua tetap populer di kalangan rakyat. Lagu ini menjadi simbol perlawanan terhadap kepemimpinan otoriter. Upaya pemerintah untuk membungkam kritik melalui sensor justru menunjukkan betapa lemahnya demokrasi saat itu. (Sumber: Tempo, 1990)
5. Swami
Grup musik Swami, yang dipimpin oleh Iwan Fals, juga mengalami pencekalan. Lagu-lagu seperti Bongkar dan Hio dianggap terlalu kritis terhadap pemerintah. Lirik Bongkar yang menyuarakan ketidakadilan dan korupsi dipandang sebagai ancaman bagi stabilitas negara, sehingga sulit mendapat izin edar.
Pemerintah berupaya menekan Swami dengan membatasi distribusi album dan mengawasi konser mereka. Namun, lagu-lagu Swami tetap menjadi anthem perlawanan bagi masyarakat yang muak dengan sistem pemerintahan yang korup dan otoriter. (Sumber: Tempo, 1989)
Sejarah telah membuktikan bahwa sensor terhadap musisi bukanlah cara untuk menjaga ketertiban, melainkan strategi penguasa untuk melanggengkan kekuasaannya. Dari Orde Baru hingga sekarang, musik tetap menjadi media perlawanan yang sulit dibungkam.
Kini, ketika band seperti Sukatani harus meminta maaf atas lirik lagu mereka, pertanyaannya adalah: apakah kita benar-benar hidup di era yang lebih bebas? Ataukah kita hanya mengalami pembungkaman dengan cara yang lebih halus? Seni seharusnya menjadi ruang ekspresi, bukan alat yang dikendalikan oleh ketakutan penguasa.
Penulis : Essa Alvira
Editor: Naila