Di negeri yang rakus membangun jalan tol, gedung bertingkat, dan tambang batu bara, nyawa manusia sering kali tidak lebih berharga dari selembar surat kontrak.
Pernyataan itu bukan sekadar retorika itulah realitas yang ditelanjangi habis-habisan oleh Sukatani dalam lagu terbaru mereka, “Tumbal Proyek.”
Duo asal Purbalingga ini seolah memukul gong keras di tengah pesta peresmian proyek nasional. Mereka tidak peduli berapa banyak pejabat yang tersinggung, berapa banyak investor yang tutup telinga. Lewat “Tumbal Proyek,” Sukatani menyerang jantung munafik pembangunan, pengorbanan manusia yang dianggap normal, bahkan halal, demi mengejar angka pertumbuhan ekonomi.
“Tumbal Proyek” memotret bagaimana kematian buruh proyek dari pekerja jalan tol, tambang batu bara, sampai proyek jembatan sering kali dianggap sebagai “resiko biasa.”
Ketika seseorang tertimbun tanah longsor atau jatuh dari ketinggian, berita itu hanya muncul sekilas di media, sebelum akhirnya dilupakan. Tidak ada investigasi serius. Tidak ada pertanggungjawaban sistematis. Dan lebih buruk lagi, tidak ada perasaan bersalah.
Dalam liriknya yang pendek tapi brutal, Sukatani membongkar nalar sesat itu. Mereka menyebut korban proyek pembangunan sebagai “tumbal” istilah yang mengerikan, tapi sangat akurat.
Seolah-olah, untuk membangun satu kilometer jalan, negara butuh mengorbankan satu dua nyawa. Dan semua orang, dari pejabat sampai rakyat biasa, seolah diajarkan untuk menerima itu sebagai “hal wajar” dari kemajuan.
Sukatani tidak menawarkan narasi heroik atau romantisasi perjuangan. Yang mereka suguhkan adalah potret telanjang tentang betapa murahnya nyawa manusia di negeri ini.
Secara musikal, “Tumbal Proyek” adalah ledakan marah yang tidak berusaha terdengar ramah.
Dentuman drum terasa seperti detak jantung orang-orang yang menunggu giliran dikorbankan. Gitar bergerak seperti sirine ambulans yang tak pernah cukup cepat. Bass menghantam keras, menciptakan rasa panik yang konstan dari awal hingga akhir.
Sukatani dengan cerdas menjaga struktur musik mereka tetap minimalis dan mentah, tanpa pretensi teknikalitas berlebihan. Mereka lebih memilih membangun atmosfer sesak, penuh rasa frustasi.
Ini bukan musik untuk pesta. Ini musik untuk demonstrasi jalanan. Ini musik untuk mengiringi berita tentang crane ambruk yang hanya dikomentari dengan satu kata basi “mohon maaf.”
Dalam produksi lagu ini, Sukatani tetap mempertahankan kemandirian penuh. Mereka menulis, mengaransemen, merekam, dan memproduksi sendiri materi mereka, hanya dibantu Cipoy untuk urusan mixing dan mastering.
Hasilnya adalah suara yang kasar, jujur, dan yang paling penting tidak terdengar seperti kompromi.
Tidak hanya lewat audio, Sukatani juga memperkuat kritik mereka lewat visual.
Mereka menggandeng Gindring Waste, ilustrator jalanan dari Magelang, untuk menggarap artwork “Tumbal Proyek.”
Ilustrasi Gindring penuh dengan sosok-sosok manusia yang diperlakukan seperti sampah konstruksi tubuh-tubuh patah di antara tiang-tiang beton, wajah-wajah yang dikubur hidup-hidup di bawah fondasi jalan tol.
Bukan sekadar gambar serem, visual ini adalah peringatan keras, setiap proyek megah yang kita banggakan, mungkin saja berdiri di atas tulang belulang orang-orang yang tak sempat kita kenal.
“Tumbal Proyek” berani karena satu hal, ia menunjuk langsung pada kemunafikan kolektif kita.
Bukan hanya pejabat yang disindir, tapi juga kita semua masyarakat yang dengan gampangnya memuja pembangunan tanpa pernah bertanya siapa yang dibayar paling mahal.
Lagu ini tidak menawarkan solusi. Sukatani tidak mencoba jadi nabi atau penyelamat. Mereka hanya membuka luka itu lebar-lebar dan memaksa kita untuk melihat.
Apakah kita akan menutup mata dan kembali merayakan proyek baru minggu depan? Atau kita akhirnya mau bertanya, berapa banyak orang lagi yang harus mati demi foto seremoni gunting pita?
Itu keputusan kita, tapi lewat “Tumbal Proyek”, Sukatani sudah melakukan bagian mereka berteriak, ketika semua orang lain memilih diam.
Di era ketika musik banyak digunakan untuk eskapisme manis, “Tumbal Proyek” justru jadi alarm brutal.
Ia membuktikan bahwa musik tetap bisa menjadi alat politik, alat kritik, alat perlawanan.
Sukatani tidak menawarkan kenyamanan. Mereka menawarkan kemarahan, kejujuran, dan rasa tidak puas yang sangat perlu dihidupkan kembali dalam masyarakat yang mulai kebal terhadap kekejaman.
Karena pada akhirnya, pertanyaan yang dilontarkan “Tumbal Proyek” bukan cuma soal proyek jalan tol atau tambang batu bara.
Pertanyaan itu lebih dalam, seberapa murah harga hidup manusia di negeri ini?
Dan ketika lagu itu selesai, mungkin kita semua harus mulai merasa malu, bukan bangga.
Penulis: Najib