Perempuan itu Setara dengan Laki-laki

0
169 views

Dalam masyarakat Indonesia, budaya patriarki masih melanggeng hampir pada semua aspek. Baik dalam aspek ekonomi, politik, maupun budaya. Akibatnya, peran-peran perempuan masih sangat terbatas dan terbelenggu.

Peran laki-laki dan perempuan masih ditentukan oleh nilai-nilai yang ada dalam masyarakat. Perempuan selalu ditempatkan di dalam rumah, karena perempuan dikonstruksikan sebagai sosok yang lemah sehingga tugasnya berada pada sektor domestik seperti mencuci, memasak, dan melakukan pekerjaan rumah lainnya. Sedangkan laki-laki, dikonstruksikan sebagai sosok yang kuat, gagah, dan berani, sehingga tugasnya diidentikkan dengan pekerjaan-pekerjaan di ranah publik.

Patriarki merupakan suatu sistem nilai yang menempatkan laki-laki lebih utama dari pada perempuan dan mendominasi peran dalam setiap aspek. Sistem seperti ini, menjadikan laki-laki lebih tinggi dari perempuan, dianggap sebagai pemimpin, dan banyak berperan di ranah publik.

Sedangkan perempuan lebih dititikberatkan pada pekerjaan rumah tangga sebagai bentuk streotipe yang melekat padanya. Praktik budaya patriarki yang masih melanggeng dalam masyarakat, membuat perempuan banyak mengalami diskriminasi seperti kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), dan pelecehan seksual.

Komisi Nasional Antikekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mencatat sepanjang tahun 2004-2021 terdapat 544.452 kasus kekerasan dalam rumah tangga atau ranah personal. Begitupun dengan kasus kekerasan seksual yang semakin melonjak setiap tahunnya. Berdasarkan pengumpulan data milik Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) terdapat 12.566 kekerasan terhadap anak pada November 2021, dan dalam tiga tahun terakhir sebanyak 26.200 kasus kekerasan seksual pada perempuan.

Tingginya angka kekerasan pada perempuan tidak terlepas dari masih kokohnya budaya patriarki dan memberi legitimasi kepada laki-laki yang melakukan tindak kekerasan.

Laki-laki dan perempuan dilahirkan dengan memiliki hak yang sama. Oleh karena itu, keduanya berhak memiliki akses yang sama, baik dalam pendidikan, memperoleh pekerjaan, berperan dalam politik dan lainnya. Sebagaimana dinyatakan dalam Al-Qur’an surat Al-Hujurat ayat 13:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَٰكُم مِّن ذَكَرٍ وَأُنثَىٰ وَجَعَلْنَٰكُمْ شُعُوبًا وَقَبَآئِلَ لِتَعَارَفُوٓا۟ ۚ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ ٱللَّهِ أَتْقَىٰكُمْ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ

Artinya: “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”

Ayat tersebut menjelaskan persamaan antara laki-laki dan perempuan baik dalam perihal ibadah maupun dalam aktivitas sosial. Di mata Allah SWT. semua makhluk adalah sama, dan hanya ketakwaanlah yang membedakannya. Menurut Asghar Ali Engineer, walaupun Al-Qur’an menyatakan bahwa perempuan setara dengan laki-laki, tetapi semangat itu ditundukkan oleh patriarkisme yang telah mengakar dalam kehidupan masyarakat.

Secara kontekstual Al-Qur’an mengakui adanya kelebihan laki-laki pada bidang tertentu ketimbang perempuan. Sebagaimana dalam QS.An-Nisa ayat 34 “al-rijalu qawwamuna ‘ala al-nisa”. Yang artinya “laki-laki (suami) itu pemimpin bagi perempuan (istri).

Menurut Ashgar, kata qawwam pada ayat tersebut bermakna pemberi nafkah dan pengatur urusan keluarga, dan Al-Qur’an tidak mengatakan laki-laki harus menjadi qawwam. Menurutnya, jika Allah memaksudkan ayat tersebut sebagai pernyataan normatif, maka semua perempuan di semua zaman akan terikat oleh hal tersebut.

Untuk menguatkannya, Ashgar mengutip pendapat-pendapat dari beberapa ahli seperti Parvez (penafsir Al-Qur’an terkemuka dari Pakistan), Maulana Azad (pelopor hak-hak permpuan, dan Maulana Umar Ahmad Usmani yang pada prinsipnya mengatakan bahwa Allah tidak melebihkan laki-laki di atas perempuan.

Pada umumnya, dalam menafsirkan Surat An-Nisa ayat 34, ulama klasik atau tradisional cenderung menyatakan bahwa laki-laki lebih utama dari pada perempuan dan laki-laki lebih baik dari perempuan. Muhammad Quraish Shibab tidak terjebak pada pendapat mereka yang cenderung menyatakan superioritas laki-laki atas perempuan. Tetapi beliau juga tidak secara total mempersamakan antara laki-laki dan perempuan dalam semua hal, sebagaimana pendapat para modernis. M. Quraish Shihab mencoba menempatkan laki-laki dan perempuan pada posisi yang setara dan memiliki hak yang sama, karena Al-Qur’an diturunkan dalam rangka mengikis perbedaan antara laki-laki dan perempuan.

Menurutnya, mengangkat harkat dan martabat kaum perempuan sangatlah penting, karena itu merupakan amanah Al-Qur’an dan hadist. Islam merupakan agama yang menjunjung tinggi keadilan dan kesetaraan. Al-Qur’an telah mengungkapkan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan serta menyatakan persamaan kedudukan antara keduanya.

Walau dalam realitas kehidupan, masih banyak kalangan yang menafsirkan ayat-ayat hanya secara tekstual atau dengan penafsiran yang bias gender hingga dapat memicu timbulnya problem yang berkaitan pada relasi laki-laki dan perempuan seperti diskriminasi, ketidakadilan, marginalisasi, dan subordinasi pada perempuan.

Menilik hal tersebut, maka perlu adanya metode komprehensif dalam memahami ayat Al-Qur’an. Surat An-Nisa (34) dapat dijadikan sebagai panduan dalam pembagian tugas mengenai relasi laki-laki dan perempuan agar tercipta hubungan yang harmonis. Kontruksi sosial masyarakat yang lebih mengutamakan laki-laki dalam ranah publik harus segera diakhiri, agar tercipta kesadaran baru dalam masyarakat mengenai eksistensi perempuan. Dengan begitu perubahan sosial dalam masyarakat dapat terwujud dengan mengikisnya patriarkisme.

Penulis: Ika Susilawati