BerandaSuara MahasiswaopiniPaslon Tunggal Seharusnya Melawan Kotak Kosong

Paslon Tunggal Seharusnya Melawan Kotak Kosong

Pada pelaksanaan Pemilihan Umum Mahasiswa tahun 2024 kemarin tidak ada pemilihan ketua Dema Universitas, hal itu dikarenakan lawan dari calon tunggal yakni Bagas Yulianto dan Ardhya Naufal Fahri tidak lolos berkas. Jika kampus benar adalah “Mini State” yang sangat demokrasi seharusnya ditahun lalu mereka melawan kotak kosong.

Tidak adanya kotak kosong dalam pemilihan ini menjadi cerminan buruk bagi sistem demokrasi di kampus. Demokrasi tidak hanya soal memilih, tetapi memastikan adanya ruang bagi semua suara, termasuk mereka yang ingin menolak kandidat yang ada. John Stuart Mill dalam On Liberti (1859) menekankan bahwa hak untuk memilih harus disertai dengan hak untuk tidak memilih, sebagai wujud kebebasan berpendapat dan mengekspresikan ketidakpuasan. Ketika mahasiswa dihadapkan pada calon tunggal tanpa alternatif, suara mereka telah dibungkam secara halus.

Fenomena calon tunggal tidak hanya terjadi di Dema Universitas pada tahun 2024, tetapi juga di jajaran organisasi mahasiswa lainnya, seperti HMPS dan Dema Fakultas. Dalam kasus seperti ini, mahasiswa kehilangan hak untuk memberikan suara kritis melalui kotak kosong. Padahal, demokrasi di lingkungan kampus harus menjadi wadah bagi mahasiswa untuk berekspresi secara bebas dan bertanggung jawab. Keberadaan kotak kosong bukan hanya soal alternatif teknis, tetapi juga simbol perlawanan terhadap monopoli pilihan.

Tahun ini, pada 2025, kondisi mulai membaik dengan munculnya lebih dari satu paslon di tingkat Dema Universitas. Namun, upaya ini tidak boleh berhenti di sini. Demokrasi kampus harus terus diperkuat, baik dari segi kompetisi yang adil, maupun mekanisme yang transparan. Seperti yang dijelaskan Larry Diamond dalam The Spirit of Democracy (2008), demokrasi yang sehat membutuhkan kompetisi yang nyata dan inklusif, bukan sekadar formalitas prosedural.

Langkah penting ke depan adalah memastikan kotak kosong hadir di setiap pemilihan, baik di HMPS, Dema Fakultas, maupun Dema Universitas. Hal ini akan menjadi sinyal kuat bahwa demokrasi kampus benar-benar menghargai suara mahasiswa, termasuk suara yang menolak kandidat yang ada. Tanpa mekanisme ini, pemilu kampus hanya akan menjadi rutinitas tahunan tanpa substansi yang jelas.

Jika kampus UIN Sultan Maulana Hasanuddin ingin menjadi contoh demokrasi yang baik, maka elemen mahasiswa dan penyelenggara pemilu harus bekerja sama menciptakan sistem yang lebih inklusif dan representatif. Demokrasi kampus bukan sekadar ritual, tetapi juga harus menjadi ruang belajar politik yang berfungsi untuk mempersiapkan mahasiswa sebagai pemimpin masa depan.

Penulis: Nabila Alsa
Editor: Lydia

- Advertisment -

BACA JUGA