BerandaSuara MahasiswaBeranikah Kita Mengkritik Diri Sendiri dan Berkamuflase Menjadi Lebih Baik?

Beranikah Kita Mengkritik Diri Sendiri dan Berkamuflase Menjadi Lebih Baik?

Sebait kalimat autokritik atas laku pegiat Pers Mahasiswa yang hari ini sedang mengalami surut Tradisi Baca Tulis

Oleh: Dani Mukarom

Saya senang dan menyambut baik puluhan mahasiswa yang bergabung dalam Lembaga pers mahasiswa SiGMA, tahun ini. Memilih LPM SiGMA sebagai tempat untuk belajar mengasah kepekaan sosial dan kemampuan ilmu kejurnalistikan adalah sebuah pilihan yang tepat. SiGMA adalah bagian integral dari sebuah perjuangan mahasiswa di Banten -yang pernah ikut andil dalam menumbangkan rezim orde baru saat itu- Saya percaya bahwa LPM SiGMA adalah tempat yang ideal untuk menegakan amar makruf nahi munkar, tempat yang sejuk untuk membicarakan problematika sosial, lebih dari itu, SiGMA juga sangat memungkinkan menjadi medium aspirasi dari keresehan hati nurani masyarakat yang terpinggirkan.

LPM SiGMA saat ini sedang menghadapi tantangan yang luar biasa berat, pasang surut kiprah LPM SiGMA dewasa ini tiba pada situasi yang mencemaskan, bagi saya. Di mana pada realitanya kita sedang mengalami tekanan hebat; penurunan minat, dekadensi intelektual, hingga hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap produk kita. Terus terang ini merupakan kemunduran yang pesimistis jika tidak kita selesaikan bersama.

Lalu, apa saja yang menjadi indikator kemunduruan kita di atas? Tentu kita harus mampu menemukan hulu dan memahami satu persatu indikator tersebut.

Pertama, rendahnya minat baca, tulis dan diskusi

Persma sangat identik dengan proses baca, tulis dan diskusi. Bagaimanapun perubahan zaman yang sedang kita lalui dan transisi medium yang sudah mulai berubah; masyarakat yang sudah mulai bergerak meninggalkan kegiatan membaca dan lebih banyak menikmati informasi singkat di media sosial. Kegiatan membaca dan menulis akan tetap menjadi jati diri seorang pegiat pers mahasiswa. Mustahil seseorang bisa melahirkan karya yang berkualitas jika tidak dibarengi dengan membaca. Seperti apapun perkembangan teknologi, membaca akan menajdi sebuah kebutuhan pokok kita sebagai akademisi, jurnalis dan masyarakat yang terdidik.

Kedua, cepat merasa puas

Butuh proses yang panjang untuk mendalami ilmu jurnalistik, memahami teknik tulis menulis, mengasah kepekaan sosial dan mampu berpikir kritis. Setidaknya saya masih mengingat nukilan salah satu senior sekaligus guru saya di SiGMA, Bang Toing. Beliau secara gamblang menceritakan bagaimana proses saat belajar menulis, setidaknya butuh sekitar lima tahun lebih untuk seseorang mahir dalam menulis. Demikian dalam bidang yang lain, butuh konsistensi dan ketekunan. Jika seseorang merasa puas belajar dalam satu sampai dua tahun di SIGMA dengan kuantitas belajar yang sedikit, tentu bisa kita bayangkan kualitas produk yang akan dihasilkan.

Tentu, untuk menyediakan perairan bagi kru yang sedang haus dalam belajar kita perlu menambah intensitas kajian dan kegiatan diskusi. Keinginan, ketekunan dan konsistensi para kru adalah kuncinya.

Ketiga, tidak mampu melahirkan autokritik untuk diri sendiri

Selain beberapa faktor di atas, tidak mampu melahirkan autokritik untuk organisasi dan diri sendiri juga jadi salah satu indikator mengapa kita sulit untuk berkembang dan beranjak menjadi lembaga pers mahasiswa yang mampu mengimplementasikan cita-cita organisasi sebagai media advokasi mahasiswa dan masyarakat Banten. Hemat penulis, sebuah kalimat autokritik tentu akan memberikan warna baru dalam berorganisasi. Bak oase di tengah padang pasir, kehadirannya akan memberikan kesegaran bagi siapapun yang meneguknya dengan kelapangan dan dibarengi dengan pemikiran yang rasional.

Selain itu, surutnya perang argumentasi di ruang redaksi juga akan menciptakan kemarau ide dan gagasan, pada akhirnya LPM SiGMA hanya akan menjadi cerita kebanggan di masa lampau.

Terakhir

Sejatinya, Pegiat pers mahasiswa harus bisa menjadi suara perlawanan terhadap kesewenag-wenangan, harus bisa menjadi wadah advokasi masyarakat dan menjadi oase menyegarkan di tengah laju peradaban yang masif melahirkan degradasi moral. LPM SiGMA harus hadir di tengah masyarakat sebagai mitra kritik yang tangguh bagi penguasa yang lalim.

Dalam hal ini, penulis setuju dengan Didik Supriyanto, dalam buku Perlawanan Pers Mahasiswa; Protes sepanjang NKK/BKK (1998). Bahwa jati diri Pers mahasiswa adalah memiliki idealisme untuk melakukan kontrol sosial.

Hal tersebut juga sedikit banyaknya pernah digambarkan oleh Daniel Dhakidae, bahwa kondisi pers mahasiswa hari ini seperti “suara yang melengking di padang gurun,”. Tentu, jangan sampai kita membiarkan SIGMA terpontang-panting, dan tidak mampu menyambangi wilayah-wilayah jati dirinya sebagai pers mahasiswa di Banten.

- Advertisment -

BACA JUGA